MelaluiSurat Al Hasyr ayat 19, kata Kiai Didin, Allah menyuruh orang-orang beriman mempersiapkan hari esok dengan sebaik mungkin. "Masa depan itu tidak hanya di dunia, tidak kalah pentingnya adalah di akhirat. Masa depan itu harus direncanakan dengan baik. Masa depan harus kita desain dengan landasan iman dan takwa," ujarnya.
MALANG, – Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan, terdapat tiga tantangan global yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Tantangan itu berkaitan dengan upaya memajukan umat Islam di tengah masyarakat dunia. Tantangan pertama adalah persepsi bahwa Islam merupakan agama konflik dan mengatakan, persepsi ini muncul akibat konflik di negara-negara Muslim, khususnya di Timur Tengah. “Sekitar 60 persen konflik di dunia melibatkan negara-negara Islam,” katanya saat memberikan sambutan dalam Webinar Peran Santri di Era Milenial dan Disruptif Digital dalam rangka Hari Santri Nasional dan Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya UB, Selasa 10/11/2020. Baca juga Jerinx Saya Berjanji Tidak Membuat Gaduh Pihak yang Merasa Diganggu oleh SayaMa’ruf mengatakan, Islam telah dipersepsikan sangat buruk di Amerika Serikat. Banyak masyarakat Amerika Serikat yang memberikan penilaian buruk terhadap Islam. Ia kemudian menjelaskan bahwa hasil survei Pew Research tahun 2017 menggambarkan pandangan warga di Amerika Serikat terhadap Islam. Baca juga Jerinx Jika Divonis Bersalah, Saya Mohon Dihukum Percobaan atau Tahanan Rumah Dari hasl survei itu, lebih dari 41 persen warga AS melihat Islam pendorong terorisme dan kekerasan. "Sedangkan 44 persen melihat Islam dan demokrasi tidak dapat berjalan beriringan. Hampir 50 persen melihat bahwa sebagian warga Muslim adalah anti-Amerika" ujarnya. Hal yang sama juga terjadi di tengah masyarakat Eropa. Ma’ruf Amin menyampaikan, hasil survei di 10 negara di Eropa menunjukkan bahwa 50 persen masyarakat Eropa mamandang Islam secara negatif.
InfoBaru Vol. 6 No. 8 Agustus 2010-b. Dakwah bil qalam dipandang perlu sebagai salah satu upaya pengayaan pemahaman terhadap keuniversalan Islam. Diakui atau tidak media pencerahan ekonomi Islam masih belum banyak dijumpai, kita lebih banyak dijejeli oleh beragam buku sekuler yang menonjolkan aspek duniawi semata. Dakwah bil qalam merupakan salah satu mekanisme dalam mengantisipasi
loading... Islam Indonesia akan menjadi panutan dunia di masa depan menurut KH. Cholil Nafis , Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia MUI. KH Cholil Nafis yakin ke depannya Indonesia akan menjadi kiblat di tingkat global, banyak negara yang akan banyak belajar dari yang dinamis antaragama ada di Indonesia memang patut menjadi contoh. Seperti apa Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU melihat potensi besar dakwah di negara ini? Simak wawancara Koran SINDO dengan KH. Cholil Nafis di kantornya beberapa waktu Kiai melihat dakwah di Indonesia secara umum?Di Indonesia banyak tipe sesuai zaman, pernah hadir dakwah dengan narasi cerdas dan tetap menghibur seperti yang dibawakan KH. Zainuddin MZ. Masa sebelumnya malah da'i dikatakan hebat jika melawan rezim, zamannya dai Syukron Mahmun. Saat Indonesia dilanda krisis, masyarakat mencari sosok yang dapat melembutkan hati ada Aa Gym. Suasana masyarakatnya membutuhkan adem ayem. Setelah krisis lama Indonesia kembali butuh hiburan namun masih yang mencerahkan. Booming artis yang berdakwah sepeti Uje, beliau ceramah sambil menghibur dengan nyanyian. Baca Juga Terjadi pergeseran pemikiran juga pada masyarakat Indonesia, ustad itu bukan pekerjaan sampingan lagi. Muncul ustaz yang juga berbisnis seperti Yusuf Mansyur. Ustaz di Indonesia tampak populer juga kaya dengan banyak massa hingga menguasai media. Sampai akhirnya dilirik politik untuk menaikkan dunia dakwah di Tanah Air sudah seperti ini, masyrakat mulai jenuh ingin mengaji kembali. Muncul ustaz yang bukan 'berwajah entertaint' tetapi punya nilai keilmuan muncul Abdul Somad, Adi Hidayat, Khalid Basalamah dan lainnya. Perbedaan mereka tidak mewakili organisasi masyarakat ormas manapun bahkan cenderung melawan ormas. Di sini ada perlawanan ormas karena mereka lembaga mapan dihantam oleh perorangan. Tidak heran jika Ustaz Abdul Somad sempat ditolak cermah di sejumlah tempat, itulah sentimen ormas. Mereka membawa diri mereka pribadi dan juga aliran, jika dulu politik aliran sekarang menjadi ustaz kini ormas menguat kembali, kelebihan ormas yakni pada aliran yang matang secara agama dan bernegara, sangat menjaga NKRI. Tugas MUI memayungi mereka, karena kami paham, kelompok non ormas potensial hingga 40% atau mereka yang berafiliasi ke ormas 60 % adalah massa di tengah apa tugas MUI meyatukan para pendakwah in? Apa yang dibangun oleh ormas kami persilakan tetapi di luar ormas atau mereka yang di tengah kami wadahi dengan pola pembinaan dakwah yang kami lakukan dengan nama standarisasi. Bukan sertifikasi, jika sertifikasi mereka memiliki efek profesionalisme yang berkaitan dengan bayaran. Sebab, tidak semua profesinya penceramah. Maka bukan sertifikasi, karena nanti ada akibat konsekuensi anggaran dia tidak bisa ceramah kecuali ada sertifikatnya seperti halal. Maka menggunakan standardisasi, artinya standar keagamaan, standar nasionalisme dan standar para dai yang di luar ormas, apakah sudah berjalan menjangkau mereka karena mereka di luar kendali ormas? Apakah ada sistem di MUI agar mereka mau mengikuti apa yang direncakan MUI ini?Para dai di luar ormas memang justru memang lebih banyak karena akhir-akhir lahir beberapa hal yang terjadi kepada ustaz-ustaz ini baik penghadangan dan lainnya. Sehingga mereka khawatir bagian dari stigma buruk. Sebelum mereka ceramah, sudah lebih dahulu diserang di media tidak mau seperti itu maka dia akhirnya mau dibina oleh MUI. Untuk berafiliasi dengan sebuah ormas membutuhkan waktu lama, memang ini harapan kami mereka yang belum terekrut. Kami sudah percaya jika mereka sudah bergabung dengan ormas, kami tinggal berkoordinasi dengan pimpinannya. Tetapi seperti mualaf yang tidak berafiliasi dengan ormas perlu kami sadarkan mengenai keagamaan, bagaimana nasionalisme. Sebab, terkadang ada kegoncangan batin karena baru menjadi Islam yang juga terkadang menjadi militan. Semangat para mualaf sangat berapi-api tetapi tidak cukup ilmu dan pengalaman. Seorang mualaf boleh bercerita mengenai hidayah yang datang padanya tetapi belum waktunya dia mengajarkan soal ajaran pendapat Anda soal politik identitas yang membawa agama di dalamnya?Identitas politik dihilangkan itu mustahil, tidak masuk akal. Kita ini dibangun dengan semangat jihad membela NKRI masing-masing agama sebagai spirit untuk meraih kemerdekaan. Komunikasi publik itu perlu clear karena bahasa simbolis. tidak bisa dijelaskan perlu clear. Ke depannya, politik identitas ada tetapi Anda melihat Islam di Indonesia ke depan? Optimistiskah Islam akan semakin memberi peran penting dalam kehidupan suatu negara?
Nah mari kita lihat prediksi paling jujur tentang masa depan yang mungkin tidak ingin kamu bayangkan. 1. Kepunahan massal keenam. inhabitat.com. Kepunahan massal adalah peristiwa mengerikan yang mengakhiri persentase terbesar kehidupan di bumi. Seperti yang dikatakan Cosmos Magazine, sejauh ini sudah terjadi lima kepunahan massal, ditambah
This article elaborates the phenomenon of fundamentalism and the future of Islamic political ideology. Islamic ideology represents religious views, ideas and movements which aspire to bring Islam into practice in state and societal affairs. One variant of Islamic ideologies is fundamentalism which endeavors to return religious practices back to the pristine Islam based on the Qur’ân and al-Hadîth. Fundamentalism rejects all modes of understand-ding which are not based on the Qur’ân and al-Hadîth, and refuses secular methodology in interpreting the Qur’ân. This type of Islamic ideology found its momentum when Saudi Arabia regime officially adopted Wahhabism, and when Egyptian intellectuals were united to fight against modernity. Both Saudi Arabia and Egypt became seeding ground for fundamentalism. Some young muslim scholars who studied there became agents for the dissemination dan transmission of the fundamentalist ideology throughout the world. In Indonesia, this ideology have developed since independence and the drafting of the constitution. In the Indonesian context, resistence from traditionalist and nationalit groups were so strong that enable to dam up the spread of fundamentalis ideas. However, fundamentalist ideology remains an important challenge for the future of Indonesian Islam. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman Volume 9, Nomor 1, September 2014; ISSN 1978-3183; 54-80 Abstract This article elaborates the phenomenon of fundamentalism and the future of Islamic political ideology. Islamic ideology represents religious views, ideas and movements which aspire to bring Islam into practice in state and societal affairs. One variant of Islamic ideologies is fundamentalism which endeavors to return religious practices back to the pristine Islam based on the Qur’ân and al-H}adîth. Fundamentalism rejects all modes of understand-ding which are not based on the Qur’ân and al-H}adîth, and refuses secular methodology in interpreting the Qur’ân. This type of Islamic ideology found its momentum when Saudi Arabia regime officially adopted Wahhabism, and when Egyptian intellectuals were united to fight against modernity. Both Saudi Arabia and Egypt became seeding ground for fundamentalism. Some young muslim scholars who studied there became agents for the dissemination dan transmission of the fundamentalist ideology throughout the world. In Indonesia, this ideology have developed since independence and the drafting of the constitution. In the Indonesian context, resistence from traditionalist and nationalit groups were so strong that enable to dam up the spread of fundamentalis ideas. However, fundamentalist ideology remains an important challenge for the future of Indonesian Islam. Keywords Fundamentalism; Islamic ideology. Pendahuluan Perbincangan masalah ideologi tidak pernah akan habis seiring dengan semakin kuatnya pengaruh ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Diskursus ideologi selalu bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan di ranah ilmu pengetahuan itu, ideologi memeroleh tempat untuk bersemayam, tumbuh subur, berdialektis dan terjadi inovasi-inovasi beragam. Bahkan menurut Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA pandangan yang lebih radikal, justru ilmu pengetahuan berasal dari Ideologi memberi bentuk dan legitimasi terhadap ilmu pengetahuan. Dalam perkembangannya, ideologi memberi pengaruh yang cukup besar terhadap suatu bangsa dan negara. Munculnya blok aliran sosialis dan kapitalis dalam sistem kenegaraan merupakan bagian tak terpisahkan dari polarisasi pengaruh ideologi dalam suatu negara. Hampir semua masalah di dunia tidak bisa dilepaskan—atau sengaja dihubungkan dengan persoalan ideologis, baik ideologi kanan, kiri atau yang berada di antara keduanya. Bagaimana dengan Islam? Islam adalah agama wahyu yang kebenarannya merupakan keniscayaan bagi setiap pemeluknya. Pada bagian tertentu Islam diterima secara as it is, tapi pada bagian lain Islam sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, menjadi tuntunan hidup, way of life bahkan menjadi ideologi. Masuknya Islam sebagai ideologi merupakan bagian dari proses sejarah, di mana manusia tidak selalu puas dengan nalar teks yang mati, dan kemudian berusaha menghidupkan teks tersebut melalui dialog dan pemaknaan yang lebih terbuka. Dari sinilah proses produksi makna ilmu pengetahuan terjadi, dari proses produksi makna baru kemudian mengejewantah sebagai ideologi baru umat. Persoalan kemudian, di mana letak karakteristik ideologi Islam dan apa hubungannya dengan ideologi-ideologi besar yang lain, artikel ini secara simplistik akan memetakan persoalan tersebut menjadi kerangka pikir yang mudah dipahami. Objektifikasi Ideologi Istilah ideologi terutama dilekatkan dengan aspek politik pemerintahan atau gerakan politik suatu negara. Di Indonesia misalnya, Pancasila diakui sebagai ideologi negara. Pancasila ini terdapat di dalam konstitusi UUD 1945, tepatnya di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebab itu, Pancasila menjadi cara pandang bangsa Indonesia, baik terhadap diri, lingkungan, negara, maupun dunia internasional. Seringkali jika terjadi konflik antar-kelompok di dalam masyarakat, Pancasila dijadikan rujukan untuk memeroleh titik temu. Sosialisasi Pancasila sebagai ideologi negara secara aktif dilakukan pemerintah melalui aneka cara. 1 Tim Dant, “A Modern Approach to Ideological Critique” dalam Knowledge, Ideology and Discourse A Sociological Perspective London Routledge, 1991, 71. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 Pancasila merupakan salah satu contoh dari ideologi yang hidup di dunia ini. Pertanyaan yang layak diajukan lebih lanjut adalah, apa yang disebut dengan ideologi? Secara etimologis, ideologi berasal dari kata “ideo” dan “logos”. Ideo berarti gagasan-gagasan, sementara logos adalah ilmu. Jadi, secara etimologis asal-usul bahasa ideologi berarti ilmu tentang gagasan-gagasan atau ilmu yang memelajari asal-usul ide. Ada pula yang menyatakan ideologi sebagai seperangkat gagasan dasar tentang kehidupan dan masyarakat, misalnya pendapat yang bersifat agama ataupun politik. Selain makna etimologis, ideologi dapat dikatakan mengacu pada apa yang orang pikir dan percaya mengenai masyarakat, kekuasaan, hak, tujuan kelompok, yang kesemuanya menentukan jenis tindakan mereka. Ideologi berpengaruh terhadap tindakan politik tertentu. Apa yang orang pikir dan percaya mengenai masyarakat ini dapat berkisar pada bidang ekonomi, politik, sosial, dan filosofis. Tidak ada pengertian yang pasti tentang ideologi, semua tergantung pada tujuan ideologi yang dimaksud. Dari tujuan tersebut kemudian melahirkan pengertian yang bisa dipahami. Franz Magnis-Suseno melihat ideologi dalam tiga aspek pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu. Di kalangan filsuf Barat ideologi mempunyai konotasi negatif, klaim yang tidak wajar atau sebuah teori yang tidak berorientasi pada kebenaran melainkan kepada pihak yang memropagandakannya. Dalam kata lain ideologi dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terdistorsi, baik disadari atau tidak. Kedua, ideologi dalam arti netral, yakni ideologi yang dipakai sebagai “ideologi negara” seperti ideologi komunis, ideologi Pancasila. Ideologi dimaksud dianggap suatu sistem berpikir, nilai, sikap sebuah gerakan. Berbeda dengan ideologi pada umumnya, ideologi negara ideological state apparatus adalah bukan ideologi dalam arti yang sebenarnya yang merupakan ekspresi dominasi kelas, bukan pula untuk mengatur kelas sosial melainkan terjadi secara simultan dan kontradiktif dengan ideologi yang ideologi dianggap sebagai keyakinan yang tidak ilmiah. Pemikiran ini muncul dari kalangan filsuf yang berhaluan positivistik yang memandang pikiran ideologi sulit diterima secara ilmiah karena tidak bisa diukur. Keempat, pikiran ideologis. Berbeda dengan ideologi, “ideologis” merupakan tuduhan bahwa argumentasi, teori atau nilai, Michel Pecheux, “The Mechanism of Ideological mis-Recognition” dalam Slavoj Zizek ed., Mapping Ideology London UK, 1994, 142. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA atau cita-cita tidak ditujukan demi kebenaran dan nilai etisnya melainkan demi kepentingan non-etis tertentu yang memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang ideologi, terlebih dahulu harus mendalami tentang sejarah munculnya teori ideologi. Ideologi menurut kalangan idealis adalah kumpulan ide-ide yang semata-mata merupakan produk pemikiran dan tidak memiliki basis meterial. Kaum idealis menganggap produksi ide terjadi sedemikian rupa dan tidak memiliki hubungan dengan kenyatan lain di luar alam pikiran, dan ide ini menentukan relasi manusia dalam perkembangan sejarah. Sementara menurut Karl Mannheim 1893-1947 ide-ide dan pemikiran bukan hasil murni kognisi tetapi dipengaruhi oleh konteks sosial. Ini bisa dilacak ke belakang melalui filsafat dari Larrain hingga Machiavelli pada abad 15. Pada abad 17 Francis Bacon telah memberi perhatian pada ciri sosial ilmu pengetahuan yang mengandung distorsi, seperti tampak dalam teorinya tentang “idol”. Teori ini menjelaskan bahwa produksi pengetahuan yang melahirkan ide yang keliru atau terdistorsi tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Teori Bacon dianggap sebagai versi awal tentang teori ideologi. Teori Bacon ini berkaitan dengan teori Mannheim tentang konsepsi partikular ideologi, dalam pengertian bahwa teori itu berkaitan dengan proses psikologis. Bacon tertarik pada ciri-ciri sosial dan psikologis pengetahuan yang menghasilkan falsifikasi. Sementara itu Althusser mengembangkan tesis bahwa ideologi memresentasikan relasi-relasi imajiner individu dengan kondisi riil eksistensi juga, ideologi memiliki basis meterial yang ditandai dengan aparatus dan politik. Relasi imajiner adalah material, yaitu tindakan atau praktik individu yang mengalir secara bebas dari Althusser ilmu pengetahuan merupakan bentuk ideal yang memotivasi perjuangan dalam ideologi. Dalam Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis Yogyakarta Penerbit Kanisius, 1995, 229-231. Tim Dant, “A Modern Approach”, 57. Ibid., 56. Althusser merupakan pemikir ideologi modern, seangkatan dengan Jurgen Habermas yang dikenal dengan kritik ideologinya. Menurutnya, kritik ideologi menjadi tidak sekedar basis pada penumpahan cacian atas pemikir-pemikir yang telah merasionalisasi sistem ekonomi dan kelas yang eksploitatif. Konsen mereka ialah untuk memahami mekanisme yang menjaga kapitalisme tetap dan membuatnya tahan terhadap tantangan-tantangan. Ibid., 62. Ibid., 59. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 pengertian ini, ilmu bukanlah katagori sosial dan bukan pula katagori epistemologis. Sebaliknya ilmu dapat dipahami sebagai respons terhadap kondisi eksistensi material dan ideologis yang menolak kondisi tertentu. Sementara itu penisbatan ideologi sebagai kesadaran palsu tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Marx. Dalam German Ideology, Marx dan Engels menjelaskan perkembangan historis kesadaran manusia dalam kaitan dengan material dan menyebutkan adanya dua tahap penting yang ditandai dengan pembagian kerja mental manual. Pada tahap pertama, kesadaran dan pemikiran dikaitkan dengan proses prilaku material, sementara tahap kedua kesadaran terpisah dari tindakan praktis. Menurut Marx, kesadaran juga bersifat ideologis, dalam pengertian bahwa dalam proses kehidupan historis keadaan manusia muncul terbalik seperti camera onscura, dan hantu yang dibentuk oleh manusia juga merupakan sublimasi penghalusan dari proses material mereka. Jadi ideologi menurut Marx 1818-1883 merupakan kesadaran yang mengacu pada nilai-nilai moral tinggi dengan menurut kenyataan bahwa di belakang nilai-nilai luhur itu tersembunyi kepentingan-kepentingan egois kelas-kelas penguasa. Nilai dan pandangan moral mempunyai fungsi mendukung struktur-struktur kekuasaan dalam Magnis-Suseno ada tiga macam ideologi yang berkembang di dunia. Pertama, ideologi penuh atau juga disebut dengan ideologi tertutup. Ideologi tertutup tidak diambil dari masyarakat, melainkan merupakan pikiran sebuah elite yang harus dipropagandakan dan disebarkan kepada masyarakat. Ideologi tertutup tidak mendasarkan diri pada nilai-nilai dan pandangan moral masyarakat, melainkan sebaliknya baik-buruknya nilai diukur dari sesuai-tidaknya dengan ideologi itu. Ideologi tertutup harus dipacu oleh sebuah elite ideologis. Ciri khas ideologi tertutup bahwa klaimnya Mengutip tulisan Tim Dant, Ibid., 57. Ibid. Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 228. Pandangan Marx banyak dikritik khususnya oleh Jorge Larrain karena samar dan tidak jelas. Menurutnya, Marx mendekati konsep ideologi atas dasar karakter kontradiksionis dari realitas sosial yang dihasilkan oleh kekuatan produksi dan pembagian kerja. Ini membawa kepada karakter ideologi solusi dalam pikiran untuk kontradiksi yang sulit dipecahkan dalam praktik. ideologi adalah suatu proyeksi yang diperlukan dalam kesadaran tentang ketidakmampuan praktis menusia. Lihat Tim Dant, “A Modern Approach”, 60. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA tidak hanya memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, melainkan bersifat konkret operasional. Artinya, ideologi tidak mengakui hak masing-masing orang, dan ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve. Ideologi tertutup bersifat dogmatis, intoleran dan totaliter serta dapat digunakan untuk melegitimasikan kekuasaan sebuat elit ideologis. Teori seperti Marxisme-Leninisme merupakan bentuk ideologi tertutup yang menganggap dirinya sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan yang sudah jadi dan harus sosialisme, dan ideologi “keamanan nasional” ala Amerika Latin juga termasuk ideologi tertutup meskipun memiliki perbedaan-perbedaan formal yang cukup mendalam. Kapitalisme, liberalisme dan konservatisme jika membatasi terhadap ruang gerak manusia untuk menuju kekebasan disebut juga dengan ideologi tertutup. Tetapi sejauh ini liberalisme masih dianggap lawan dari ideologi tertutup, dan masih dianggap konsisten memerjuangkan nilai dan kekebasan. Kedua, adalah ideologi terbuka. Cita-cita politik ideologi terbuka adalah menjamin kehidupan masyarakat untuk menentukan kehidupannya sendiri, kebebasan beragama dan berpandangan politik. Cita-cita itu bersifat limitatif dan bekerja melalui falsifikasi artinya menetapkan batas-batas kebebasan, dengan tidak merugikan orang lain. Cita-cita itu tidak dibebankan kepada masyarakat, melainkan diangkat darinya melalui kesepakatan di antara mereka. Motivasi untuk mengikuti cita-cita itu tidak perlu dipacu, apalagi cita-cita itu adalah falsafah negara yang juga disebut dengan “ideologi terbuka”. Ideologi terbuka bersifat inklusif, dan menerima semua pandangan yang berasal dari masyarakat selagi bertujuan untuk membela hak-hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi. Ketiga, ideologi implisit. Kedua ideologi di atas memiliki satu ciri bersama merupakan cita-cita dan nilai yang secara eksplisit dan verbal dirumuskan, diperjuangkan, dipercayai dan dilaksanakan. Secara historis ideologi-ideologi eksplisit itu muncul bersamaan dengan zaman modern yang ditandai dengan rasionalisme dan sekularisasi. Pada era tradisional masyarakat memiliki keyakinan-kayakinan tentang hakikat realitas serta bagaimana manusia hidup di dalamnya. Meskipun keyakinan-keyakinan itu hanya implisit saja yang tidak Ibid., 232. Karl Mannheim, Ideology London Routledge dan Kegan Paul, 1989, 132. Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 235. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 dirumuskan dan diajarkan, namun keyakinan itu dapat diresapi sebagai gaya hidup, berpikir bahkan beragama. Kayakinan dan cita-cita itu tidak eksplisit itu sering ada unsur ideologisnya karena mendukung tatanan yang ada, memberi legitimasi terhadap kekuasaan berdasarkan kelas atau lapisan sosial tertentu. Misalnya pandangan masyarakat Jawa tentang mikrokosmos jagad cilik dan makrokosmos jagad gedhe memuat paham tentang rahasia sebagai sumber keselarasan dan kesejahteraan masyarakat, dan dengan demikian melegitimasikan sistem kekuasaan monarki absolut. Oleh karena keyakinan dan nilai-nilai dasar itu melegitimasikan struktur non-demokratis tertentu. Jadi ideologi implisit menyangkut sejauh pandangan-pandangan yang tidak disadari secara eksplisit itu membenarkan struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat yang tidak adil, pandangan itu dinilai ideologis dan dengan demikian dinilai negatif. Bahkan dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, ideologi implisit terjewantahkan dalam berbagai bentuk. Mereka tidak mau dihubungkan dengan ideologi yang sudah mapan, sebagai ideologi tertutup dan terbuka, atau dihubungkan dengan keyakinan agama tertentu. Mereka menyebut dirinya sebagai ideologi dan sumber ideologi, dan tidak mau dipaksakan dengan ideologi-ideologi dua karakter utama ideologi. Pertama, ideologi diformulasi dan ditaati dimaksudkan untuk tujuan tertentu. Pandangan dunia industrial misalnya, secara spontan akan memunculkan implikasi masyarakat yang terindustrialisasi. Dalam konteks masyarakat yang dibingkai oleh pandangan industrial kemudian muncul secara gradual masyarakat teknologi sosial. Pada saatnya kemudian, teknologi menjadi sentral di tengah masyarakat. Sementara itu, masyarakat industrial tersebut akan disertai dengan munculnya ideologi kapitalisme. Dari sinilah kemudian ideologi digunakan untuk menjustifikasi bentuk-bentuk sistem ekonomi industrial tertentu. Kedua, ideologi digunakan oleh para proponennya untuk tujuan politik mereka. Dalam memerjuangkan politik, mereka cenderung menggunakan ideologi, dan bukan memakai pandangan dunia atau paradigma sosial. Berbeda dengan semua itu, ketika pandangan dunia atau paradigma diubah menjadi ideologi oleh sekelompok orang— Lihat David Wals, “Kata Pengantar” dalam David Wals, After Ideology Recovering the Spritual Foundations of Freedom Washington DC The University of Catholic Press, 1990, xii. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA elite dominan, pemimpin gerakan sosial, kelas sosial yang kuat dan sejumlah kelompok lainnya—mereka menggunakannya sebagai instrumen pendorong dan penganut kekuasaan, tindakan dan tujuan mereka. Singkat kata, ideologi kemudian menjadi senjata terhadap suatu ideologi telah melahirkan klaim bahwa ideologi yang dianut oleh suatu negara/kelompok lebih unggul dari ideologi yang lain. Keberpihakan dan klaim kebenaran terhadap ideologi pada dasarnya menurut Zizek tidak bisa dilepaskan dari muatan kepentingan yang lebih besar yakni upaya memberikan pengaruh pada ideologi yang sudah ada, apalagi ideologi tersebut sudah dihubungkan dengan kepentingan politik dan klaim bahwa ideologi tertutup lebih populis, sementara ideologi lebih elitis merupakan pandangan yang bersifat apriori dan prematur, demikian sebaliknya ketika muncul pandangan bahwa ideologi tertutup bersifat elitis dan ideologi terbuka sangat populis juga subjektif. Karena pada kenyataannya di negara-negara yang menganut ideologi tertutup tidak selamanya gagal dan sukses, demikian pula bagi negara yang menerapkan ideologi terbuka. Namun secara teoretis, bahwa ideologi yang bercorak sosialis lebih besifat merakyat dan manusiawi, sementara ideologi kapitalis-liberal lebih banyak mementingkan kelompok yang dekat dengan kekuasaan untuk memeroleh akses yang lebih luas terhadap sumber-sumber Peta Awal Ideologi Politik Islam Sebelum lebih mendalam memerbincangkan ideologi politik Islam, terlebih dahulu akan dikemukakan hubugan Islam dan negara. Perbincangan soal ideologi, lebih-lebih dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari perbincangan sebuah negara. Hampir semua gerakan Islam modern tidak bisa dilepaskan dari gerakan yang berhaluan ideologis, khususnya melalui pembacaan terhadap teks dan sejarah perjalanan Islam pada masa-masa awal yang menjadi titik simpul Islam dekade belakangan ini selalu muncul pertanyaan klasik yang memersoalkan hubungan Islam dan negara. Apakah Islam Zainuddin Maliki, Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik Surabaya LPPAM, 2004, 21-22. Zizek, Mapping Ideology, 176. Ibid. Ibid. Lihat Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Surabaya LPAM, 2004, 3. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 sebuah agama atau negara, atau keduanya agama sekaligus negara. Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan latah atau mimpi di siang bolong, tetapi pertanyaan yang harus dijawab meskipun akhir jawaban itu secara akademis juga akan berpihak. Dasar-dasar yang digunakan, baik bersumber pada al-Qur’ân maupun H}adîth atau sejarah Islam tidak secara tegas menjelaskan apakah Islam sebagai agama dan negara, atau agama saja. Demikian pula tidak ada dasar yang menyatakan bahwa agama terpisah dari negara, atau negara terpisah dari agama. Demikian pula ketika merujuk pada tradisi sejarah sebagaimana ulama fiqh Sunnî menjelaskan tentang hubungan agama dan negara dengan mengambil contoh peristiwa-pristiwa politik dalam pemilihan/pengangkatan al-Khulafâ’ al-Rashidûn. Dalam kasus khalîfah sulit dibedakan antara urusan politik dan agama. Apakah berkumpulnya sahabat di Thaqîfah Bani Saîdah atas nama agama atau politik, atau kedua-duanya, memang sulit untuk dijelaskan secara komprehensif. Demikian pula apakah para khalîfah itu memerintah atas nama agama atau kekuasaan semata juga tidak bisa diuraikan dengan menyeluruh, karena sulitnya membedakan antara urusan agama dan keduniaan. Begitu pula ketika Nabi masih ada, baik ketika berada di Mekkah maupun Madinah. Apakah Nabi memerangi kaum kafir yang membangkang itu atas nama agama atau kepala negara, atau keduanya, tidak bisa dijelaskan secara pasti. Tapi satu hal yang perlu dicatat bahwa Islam lahir di sebuah wilayah yang tak bernegara, yang tidak memiliki aturan-aturan administratif sebagaimana layaknya sebuah negara. Islam lahir dengan mengusung peradaban modern dengan berusaha membawa aturan-aturan itu di tengah masyarakat Arab yang sulit ditaklukkan dengan aturan-aturan. Aturan-aturan itu memerlukan kekuasaan yang mewakili komunitas mereka untuk melaksanakannya seperti hukuman bagi pencuri, pezina, dan yang lainnya. Fakta di atas tidak bisa dielakkan lagi ketika Islam berkembang begitu cepat sehingga memerlihatkan batas wilayah Islam dan non-Islam. Dari sinilah maka Thaqîfah Bani Saîdah merupakan balai pertemuan orang Ans}âr dan Muhâjirîn untuk membahas kepemimpinan umat Islam setelah Nabi meninggal. Kasus seperti ini juga terjadi pada agama manapun dan dalam kondisi apapun. Sementara dalam konteks Islam semakin tidak jelas karena dasar-dasar yang ada dalam al-Qur’ân maupun H}adîth tidak memberikan penjelasan yang memadai. Dalam Islam cuma mengenal istilah dâr al-h}arb atau dâr al-Islâm. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA kemudian payung politik diperlukan, Islam adalah hukum dan setiap hukum atau aturan harus ada orang yang memerintah. Nabi tidak memberikan aturan yang jelas tentang kepemimpinan sesudahnya. Demikian pula tentang kepemimpinan seperti apa yang layak dilaksanakan, dan kriterianya juga Nabi tidak memberi khilafah dan penyebutan khalîfah merupakan hasil ijtihad para sahabat Sabda Nabi antum alam bi umûr dunyâkum yang menganggap bahwa kepemimpinan sesudah Nabi tidak boleh kosong dan karenanya perlu seorang pemimpim yang bernama “khalîfah”. Pertemuan di Thaqîfah tersebut untuk memilih khalîfah adalah pertemuan yang tidak direncanakan dengan matang, tergesa-gesa dan tidak memiliki dasar teologis yang kuat. Apalagi tidak semua unsur sahabat penting hadir dalam musyawarah tersebut. Namun peristiwa di Thaqîfah selalu dijadikan dasar dalam tradisi fiqh Sunnî khususnya dalam menganalogkan tradisi kepemimpinan yakni pertama, khalîfah tidak membicarakan negara sebagai institusi melainkan difokuskan kepada orang yang akan dibay’at untuk memerintah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Kedua, khalîfah hanya ada satu orang dalam wilayah Islam, sementara di bawahnya terdiri dari gunernur. Ketiga, khalîfah berdasarkan pilihan bukan “teks” dalam tradisi Shîah.Peristiwa politik di Thaqîfah dan kemudian melahirkan generasi khalîfah utama dari Abû Bakar hingga Alî b. Abî T}âlib menjadi dasar hukum politik dalam tradisi Sunnî yang kadang tanpa melihat makna-makna penting di balik semua peristiwa tersebut. Apakah sistem khalîfah merupakan sebuah sistem politik Islam atau hanya sebuah ambiguitas politik. Apabila dikritisi secara mendalam baik tradisi sistem khalîfah pada masa-masa awal atau pemikiran politik Sunnî era belakangan, ambiguitas tersebut semakin menonjol melihat banyaknya kekurangan dalam sistem khalîfah. Ada beberapa poin penting yang perlu dicermati dalam tradisi khalîfah. Pertama, tidak ada batasan bagi jabatan khalîfah. Keempat al-Khalîfah al-Râshidah tidak memiliki batasan jabatan sehingga sulit diukur untuk dikatakan sebagai sesuatu yang ideal. Kedua, tidak ada pola atau tata cara bagaimana memberhentikan khalîfah yang korup, tidak menjalankan undang- Munculnya H}adîth al-aimmah min Quraysh lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa masyarakat Arab tidak bisa tunduk selain pada suku Quraysh. Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syari’ah, terj. Mujiburrahman Yogyakarta Pustaka Fajar Baru, 2001, 66-67. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 undang atau sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas keseharian. Kasus al-Khulafâ’ al-Râshidûn, tiga dari empat khalîfah adalah meninggal sebelum kekuasaannya habis. Ketiga, tidak ada metode yang tepat bagaimana memilih khalîfah. Peristiwa di Thaqîfah adalah peristiwa politik emergency, tergesa-gesa dan di luar rencana. Pergantian dari Abû Bakr ke Umar b. al-Khat}t}âb adalah cara tidak ideal karena dapat menimbulkan fitnah, demikian pula pengangkatan Alî b. Abî T}âlib sebagai khalîfah tidak mencerminkan idealitas syarat-syarat pemimpin modern. Hanya cara yang dilakukan oleh Umar bisa dikatakan sebagai cara yang terbaik dibandingkan dengan ketiga cara sebelum dan sesudahnya. Keempat, tidak ada batasan wewenang seorang khalîfah. Mulai dari Abû Bakr hingga Alî pola kepemimpinannya mirip dengan “panglima perang” yang bisa memerintah kapan dan dalam situasi apa saja. Masalah pembatasan wewenang tidak sampai dipikirkan waktu itu karena umat Islam disibukkan dengan penaklukan dan ekspansi wilayah. Realitas politik di atas melahirkan berbagai pandangan yang berbeda di kalangan umat Islam. Pandangan pertama menyatakan bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pandangan kedua adalah agama dan negara berhubungan secara simbiotik, agama dan negara saling mengisi satu sama lain. Pandangan ketiga, bahwa agama terpisah dari negara sekuler. Perbincangan soal hubungan negara dan agama dalam Islam, khususnya pada masa-masa awal menjadi landasan dan pijakan pemikir Muslim untuk menentukan gerakan dan ideologi politik Islam. Perdebatan hubungan Islam dan politik khususnya keterkaiatannya dengan ideologi politik semakin menguat ketika ideologi-ideologi besar seperti Sosialis-Marxisme, Liberalisme, Kapitalisme masuk ke dalam ruang Muslim yang bersamaan dengan kesadaran umat Islam untuk menata kehidupan setelah sekian tahun lamanya tenggelam dalam keterpurukan sejarah. Ideologi-ideologi besar tersebut pada satu sisi menggeser keyakinan dan cita-cita yang ada dalam Islam, sebagian berusaha untuk mengawinkan antara Islam dan ideologi Barat, sementara ada sebagian yang lain berusaha untuk mengusung “Islam” sebagai ideologi murni. Yang dimaksud dengan ideologi di sini adalah interpretasi keagamaan dari berbagai ide yang saling berkaitan yang ada dalam aliran-aliran Islam, yang Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA merefleksikan moral, kepentingan, serta komitmen ini memandang bahwa semua unsur ideologi umumnya diterima sebagai formulasi filosofis yang bersifat tentatif, yang perumusannya disesuaikan dengan perubahan sosial-budaya. Tentang ideologi politik Islam ini pada satu sisi tidak bisa dipisahkan dari kenyataan fakta-fakta politik pada masa Nabi yang kemudian dilanjutkan oleh al-Khulafâ’ al-Râshidûn, juga adanya tuntutan terhadap dinamika yang berkembang di luar Islam. Dalam konteks ini, banyak muncul pemikiran baru ideologi politik Islam untuk mengggabungkan antara Islam dan ideologi Barat modern. Seorang pemikir politik modern Pakistan Abû al-Ala al-Mawdûdî menyatakan bahwa sangat sulit menerapkan konsep ideologi politik sebagaimana pada masa Nabi dan al-Khulafâ’ al-Râshidûn di tengah umat Islam saat ini, apalagi jika ada tuntutan untuk menerapkan demokrasi sebagai semangat utama umat Islam. Karena Islam dan demokrasi pada satu sisi memiliki persamaan tapi pada sisi lain memiliki garis demarkasi yang jelas yang membedakan soal kedaulatan Tuhan dan kedaulatan agama. Ideologi politik modern selalu mengedepankan prinsip kedaulatan manusia sebagai pijakan utama dalam proses pengambilan keputusan politik, sementara dalam Islam semua keputusan harus dikembalikan kepada ajaran utama Islam, yakni al-Qur’ân dan H}adîth. Dalam pengertian ini, keputusan manusia tidak berarti lagi apabila bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk mencairkan kebuntuan ini al-Mawdûdî menawarkan apa yang disebut dengan teo-demokrasi, yakni demokrasi yang dilandasi dengan semangat ketuhanan, demokrasi yang bersumber dari ajaran-ajaran menyadari bahwa terdapat beberapa titik dalam ideologi politik Islam yang tidak selamanya beriringan dengan tuntutan demokrasi ala Barat sekarang. Sementara dia juga menyadari bahwa tidak mungkin kembali pada tradisi Nabi dan al-Khulafâ’ al-Râshidûn dalam mengembangkan ideologi politik. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran politik Ibn Taymîyah, bahwa agama tidak bisa hidup tanpa negara dan dalam menjalankan sebuah negara tidak Terrence Ball dan Richard Dagger, Political Ideologies and the Demodratic Ideal New York Harper Collins College Publishers, 1995, 9. Lihat Abu A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir Bandung Mizan, 1994, 440. al-Maududi tidak spesifik menyebut istilah tersebut, namun pemeikiran-pemikiran politiknya selalu mengarah pada pandangan tersebut. Ibid. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 mungkin kembali lagi ke dalam tradisi awal umat ideologi politik Islam akan selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan umat Islam tersendiri. Secara teoretis, ideologi politik Islam lebih dekat dengan ideologi sosialis, karena semangat yang dibangun oleh Islam adalah dalam rangka membela kaum mustad}afîn orang-orang lemah. Menurut Ibn Taymîyah, apapun paham yang dianut oleh suatu negara harus mampu memelihara agama dan memerhatikan kesejahteraan dari Fundamentalisme Ideologi politik Islam tidak dapat dilepaskan dengan gerakan fundamentalisme. Fundamentalisme memberikan ruang yang ikut andil dalam memerkuat ideologi politik Islam. Fundamentalisme lahir, tumbuh dan berkembang setelah Rasulullah meninggal, tepatnya 200 tahun sesudahnya. Fundamentalisme selalu diidentikkan dan dihubungkan dengan agama. Baik di Barat maupun Islam, gerakan fundamentalisme sangat melekat dengan isu-isu agama seperti purifikasi, kebangkitan, reinterpretasi. Namun menurut Graudy, fundamentalisme merupakan fenomena yang tidak terbatas pada agama terdapat fundamentalisme pada wilayah politik, sosial dan budaya. Karena baginya, fundamentalisme merupakan pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik bersifat agama, politik atau budaya yang dianut pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam mengelompokkan fundamentalisme sebagai fenomena budaya dan sosial yang berdiri sendiri memang tidak mudah, karena isu-isu agama sangat melekat dan selalu memiliki hubungan dengannya. Karena hampir semua fenomena bisa berhubungan dengan masalah sosial. Tugas sosiologi adalah mengelompokkan, mengkatagorisasi dan menempatkan secara sosial semua fenomena termasuk di dalamnya fundamentalisme pada agama. Berbagai kasus di dunia Islam khususnya Mesir dan Saudi Arabia gerakan fundamentalisme berawal dari kelompok agama yang tidak Qomarudin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj. Anas Mahyudin Bandung Pustaka, 1983, 309. Ibid. R. Graudy dalam Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme Jakarta Paramadina, 1996, 108. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan kemudian melakukan respons dengan menggunakan tafsir agama. Kelompok ini kemudian muncul sebagai gerakan sosial yang terorganisir yang di dalamnya selalu menggunakan dasar dan argumen teologis untuk melawan tirani atau ketidakadilan sosial. Azyumardi Azra mengelompokkan gerakan ini menjadi dua tipologi, yakni pra-modern dan kontemporer neo-fundamentalisme, dalam istilah lain juga disebut dengan fundamentalisme tradisional dan muncul disebabkan oleh situasi dan kondisi tertentu di kalangan Muslimin, karena itu lebih genuine dan inward oriented. Fundamentalisme kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi Barat, baik melalui kontak langsung maupun melalui pemikir itu pembahasan fundamentalisme sebagai fenomena sosial di kalangan Muslim tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai masalah isu-isu agama yang melatari kemunculannya, yang berasal dari respons terhadap perubahan sosial yang begitu cepat. Gerakan fundamentalisme menurut analisis Reisenbrodt bersumber dari perubahan sosial dengan segala akibat yang ditimbulkannya, kemudian melahirkan respons yang beragam di kalangan masyarakat. Dari respons ini, ada upaya untuk mengounter dengan argumen-argumen teologis dalam rangka counter terhadap perubahan tersebut. Counter tersebut dalam ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai tesis kemudian melahirkan antitesis dan beranjak pada tesis lagi. Untuk melihat kasus fundamentalisme sebagai fenomena sosial yang berkembang di dunia, akan digunakan sudut pandang Martin E. Marty, seperti yang dikutip Azyumardi Azra, untuk memetakan prinsip dan elemen gaya fundamentalisme. Menurutnya, ada empat prinsip dan gaya fundamentalisme Pertama, prinsip fundamentalisme adalah oppositionalism paham perlawanan. Semua bentuk modernitas, sekularitas dan tata nilai Barat yang dapat mengancam eksistensi agama akan dilawan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’ân harus dipahami secara lateral-apa adanya. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi fundamentalisme, pluralisme Lihat Jainuri, Orientasi Ideologis, 73-74. Azra, Pergolakan Politik Islam, 111. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap kegamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme kegamaan. Keempat, adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa, perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dilihat sebagai as it should be bukan as it is. Dalam kerangka inilah masyarakat harus menyesuaikan perkembangannya, bukan sebaliknya, teks atau penafsiran yang mengikuti di dunia Islam, fundamentalisme tidak dapat dilepaskan dari sejarah Saudi Arabia dan Mesir, dua negara yang ingin ikut membangun ideology tersebut. Tokoh dan para ulama di dua negara tersebut berusaha untuk mengobarkan semangat kembali kepada ajaran al-Qur’ân dan H}adîth, atau yang dikenal dengan sebutan gerakan pemurnian’. Ada hubungan yang sangat erat antara ajaran Saudi modern dengan semangat yang dikembangkan oleh Ah}mad b. H}anbal 780-855 dan Ibn Taymîyah 1263-1328 yang sama-sama memelopori ajaran kembali pada al-Qur’ân dan H}adîth dengan meninggalkan ajaran yang berbau bidah dan khurafât. Sebelum munculnya kelompok fundamentalis modern akhir 1980-an dan awal 1990-an, kelompok-kelompok radikal sudah lama berkembang dengan menjadikan institusi negara sebagai basis perjuangannya. Secara umum ada tiga faktor yang melatari munculnya fundamentalisme di Saudi Arabia Pertama, bentuk kritik terhadap rezim yang berkuasa yang selalu mengatasnamakan agama sementara dalam praktiknya sudah keluar dari agama. Hak otoritatif terhadap satu kelompok agama, “Wahhabi” memicu absolutisme di kalangan masyarakat. Di samping itu juga kritik dilancarkan pada ruling family yang kemudian membius masyarakat bahwa tanpa Ibn Saud family Saudi tidak bisa berjaya. “Kita harus mengikuti Islam yang benar sebagaimana Islam yang dibawa oleh Nabi dan para sahabat, bukan mengikuti apa yang dikatakan oleh ulama yang korup” demikian oposisi mengatakan. “Wahabi untuk saat ini tidak punya otoritatif mengatasnamakan agama”. Para aktivis Ibid., 109-110. Ibid., 6. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA meminta agar dipisahkan antara urusan politik, publik, pribadi dan bisnis. Sebab di sinilah letak terjadinya korupsi di lingkungan kerajaan. Aktivis meminta agar didefinisikan ulang aturan bernegara, permainan urusan pribadi dan publik, kejelasan aturan hukum dan sistem kekerabatan yang tidak jelas. Kedua, sikap kritis karena pembatasan yang berlebihan terhadap semua gerakan sosial yang ada di Arab Saudi. Dengan kekuatan minyak yang melimpah, kerajaan membiayai besar-besaran operasi intelijen untuk membungkan kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Jaringan keluarga kerajaan juga ikut membantu memersempit gerakan kelompok radikal, meskipun akhirnya juga bisa lolos. Salah satu ungkapan yang selalu dikatakan oleh aktivis Saudi untuk melawan penguasa yang membela kepentingan Amerika “Masyarakat Arab paling tahu tentang gurun. Mereka bisa survive sebab secara reguler keluarga menghabiskan tiga bulan di kamp gurun. Orang Amerika butuh air mineral untuk bisa hidup, orang Saudi Arabia cukup minum lumpur untuk bisa hidup”. Ketiga, sikap kritis dilancarkan kepada dominant narrative kerajaan. Sikap kritis pada konstruk sejarah Saudi Arabia yang penuh tipu muslihat dengan menggunakan dasar agama untuk memobilisasi dan menghipnotis masyarakat dengan segala dalih dan tipu daya. Sikap kritis ditujukan pada Abdul Aziz dan keluarga kerajaan yang selalu menganggap dirinya sebagai pemersatu antar suku, menikahi sekian istri demi menjaga kesatuan masyarakat Arab, penjaga agama, dan segala bentuk agitasi untuk melemahkan posisi tawar itu akar fundamentalisme di Mesir berawal dari pendudukan Napoleon Banoparte yang membawa angin modernisasi. Tak lama setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali Pasya 1769-1849 menindaklanjuti modernisasi tersebut dengan berbagai cara di antaranya mengirimkan beberapa sarjana ke Eropa untuk belajar strategi perang, memerkenalkan model irigasi modern, membuka percetakan dan modernisasi pemerintahan. Muhammad Ali memerkenalkan apa yang disebut dengan “westernisasi”.Cara yang digunakan oleh Muhammad Ali mendapatkan sambutan hangat di kalangan masyarakat Mesir, namun tidak sedikit yang mencurigai akan dampak negatif modernisasi tersebut. Di antara yang bersikap hati- Ibid., 6-8. David Sagiv, Islam Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin Yogyakarta LKiS, 1997, 10. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 hati dan terkadang reaktif adalah Jamâl al-Dîn al-Afghânî 1839-1897 dan Muh}ammad Abduh 1845-1905. Di berbagai kesempatan khususnya ketika mengajar dan tulisan-tulisannya dalam al-Urwah al-Wuthqâ tali yang kokoh, al-Afghânî menekankan bahaya yang akan ditimbulkan oleh Barat dan pengaruhnya di dunia Islam, dengan menekankan perlunya persatuan di kalangan umat Islam dalam rangka menangkal bahaya al-Afghânî maupun Abduh menyerukan kepada umat Islam agar kembali kepada ajaran agama yang benar dengan mendengungkan purifikasi dan meninggalkan bidah. Keduanya tidak menolak modernisasi, tapi bagaimana menyikapi dengan bijak isu-isu modern dalam kerangka keIslaman. Sementara murid Abduh, Muh}ammad Rashîd Rid}â 1865-1935 yang menjadi penggerak kebangkitan Islam sesudahnya mementingkan perlunya penegakan kembali institusi khilâfah sebagai alternatif terhadap nasionalisme yang ia tantang. Premis yang digunakan adalah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berasal dari wahyu, dan tidak ada kehidupan normal dan bahagia kecuali dengan pemerintahan semacam itu. Pemikiran Rid}â sebagai bentuk kritik terhap model pemerintahan yang dikembangkan oleh pemerintah Mesir waktu itu. Pada era ini, ada empat aliran politik yang menggelinding di Mesir. Pertama, aliran Barat yang menggemakan peniruan terhadap Barat dalam semua aspek kehidupan. Kedua, aliran religius anti-Barat yang berusaha merestorasi kejayaan Islam dengan cara kembali pada sumber-sumber agama. Ketiga, aliran nasionalis lokal yang tidak memberikan prioritas nasionalisme universal dan Pan-Islamisme. Keempat, nasionalisme Pan-Arab yang muncul pada akhir 1800-an dan menjadi intens pada abad 20 di mana banyak komunitas Kristen terlibat di fundamentalisme merupakan respons atas modernitas yang berkembang di Mesir waktu itu. Secara umum Islam modernis dapat dikatagorikan dengan tiga hal. Pertama, kecenderungan untuk membatasi muatan tradisi otoritatif sebagaimana yang dikembangkan oleh pemahaman terhadap sumber-sumber utama ajaran Islam al-Qur’ân-H}adîth. Hal ini bukan berarti menolak tradisi, tetapi Ibid., 13. Lihat pula Daniel Crecelius, “Nonideological Responses of The Egyptian Ulama to Modernization”, dalam Nikki R. Keddie, Scholars Saints and Sufis California University of California Press, 1978, 166-209. Sagiv, Islam Otentisitas, 24-5. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA berkecenderungan untuk melakukan seleksi yang ketat. Kedua, mereinterpretasi terhadap sumber-sumber otoritatif, khususnya terhadap beberapa sumber yang membawa implikasi luas munculnya pertentangan di kalangan Muslim seperti poligami, hukuman h}add, jihad, perlakuan terhadap orang murtad/kafir, pandangan terhadap isu-isu modern, kesaksian wanita, hak-hak suami istri. Beberapa reinterpreasi yang dikembangkan adalah memerbolehkan poligami dengan pertimbangan yang sangat ketat, memahami jihad sebagai defensive war, dan mengkaji ulang pandangan Muslim terhadap non-Muslim. Ketiga, sikap apologetik yang menghubungkan aspek-aspek tradisi Islam dengan tradisi Barat, dan mengklaim bahwa Barat pada dasarnya mengambil tradisi Islam. Menurut Shepard, hal tersebut dianggap sebagai identifikasi sederhana sebagai penulis tentang Nasser yang menyatakan bahwa demokrasi di Yugoslavia meniru demokrasi langsung di Mesir. “Konsep demokrasi belakangan ini tidak asli lagi. Demokrasi yang original dapat ditemukan dalam demokrasi Islam awal”. Praktik yang dikembangkan di Barat menurut para apologis adalah bersumber dari tradisi Islam sebagaimana konsep shûrâ. “Dalam terminologi politik modern shûrâ adalah demokrasi. Islam tidak menjelaskan bentuk, tipe dan tingkatan dalam demokrasi tetapi membiarkannya berada dalam pikiran Muslim dengan memertimbangkan aspek waktu dan tempat”.Gema kebangkitan dan fundamentalisme mencapai puncaknya pada abad 20 ketika kekhalîfahan Islam Turki Ustmani bubar. Pada tahun 1928 gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn IM muncul yang dipelopori oleh H}asan al-Bannâ. Al-Bannâ adalah aktivis pada kelompok kajian al-Mannâr yang dipimpin oleh M. Rashîd Rid}â dan secara konsisten mengikuti ajaran-ajaran konservatif Rid}â. Pada awalnya IM berkonsentrasi pada gerakan salafi dan sama sekali tidak masuk ke area politik, tapi belakangan ketika pengikutnya semakin banyak dan mendapat tempat di hati masyarakat Mesir, IM kemudian menjadi kelompok radikal yang dalam gerakannya selalu bersentuhan dengan wilayah pula ketika ide-ide Sayyid Qut}b 1906-1966 mulai masuk ke model gerakan IM. Meskipun awalnya bukan anggota, tapi Ibid., 415. Ibid. Leonard Binder, Islamic Liberalism Chicago Chicago University Press, 1988, 271. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 setelah kematian al-Bannâ justru Qut}b yang menjadi ikon gerakannya. Di samping para pendahulunya yang memengaruhi alam pikir Qut}b, ia juga dipengaruhi oleh al-Mawdûdî. Namun ada bukti lain bahwa Qut}b di sepanjang kehidupan intelektualnya sangat dipengaruhi oleh konsepsi keyakinan yang emosional, dan bahwa dia memberi sumbangsih besar bagi terbentuknya orientasi fundamentalis baru yang berpotensi melepaskan energi sosial yang dahsyat dalam bentuk gerakan massa yang tidak tunduk pada kendali negara dan tidak pula mengabdi pada elit dan alim ulama tradisional. Salah satu doktrin Qut}b adalah konsep “Jâhilîyah modern”, yakni modernitas sebagai “barbaritas baru”. Meskipun istilah Jâhilîyah modern diadopsi dari al-Mawdûdî, tetapi konsep yang dikembangkan oleh Qut}b lebih berpengaruh. Menurut Qut}b Jâhilîyah modern adalah situasi di mana nilai-nilai fundamental yang diturunkan Tuhan kepada manusia diganti dengan nilai-nilai palsu artificial yang berdasar hawa nafsu duniawi. Jâhilîyah modern merajalela di muka bumi ketika Islam kehilangan kepemimpinan atas dunia, sementara pada pihak lain Eropa mencapai kejayaannya. Untuk menumpas Jâhilîyah modern menurutnya, masyarakat Muslim harus melakukan taghyîr al-aqlîyah, yakni perubahan fundamental dan radikal, bermula dari dasar kepercayaan, moral dan etikanya. Dominasi atas manusia semata-mata dikembalikan kepada Allah, tegasnya Islam sebagai sistem holistik. Jihad harus dihadapkan dengan modernitas. Tujuan akhir jihad adalah membangun kembali “kekuasaan Tuhan” di muka bumi, di mana sharîah memegang supremasi sharîah bukan dalam pengertian sempit sebagai sistem hukum tetapi dalam pengertian lebih luas, yakni cara hidup menyeluruh sebagaimana digariskan memahami bahwa cara yang tepat untuk mengembalikan kekuasaan Allah di muka bumi dengan cara melakukan jihad secara total, fisik maupun non-fisik. Gerakan fundamentalisme di Arab Saudi dan Mesir tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki mata rantai yang kokoh dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Secara ideologi kegamaan, gerakan Saudi dan Mesir mengacu pada gerakan Ah}mad b. H}anbal yang hidup pada abad 8-9 M, kemudian gerakan ini secara sistematis diikuti oleh Ibn Taymîyah dengan semangat kembali kepada ajaran al-Qur’ân dan al-Sunnah secara autentik. Setelah itu muncul Muh}ammad b. Abd al- Ibid., 270. Azra, Pergolakan Politik, 120-1. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA Wahhâb, pendiri gerakan Wahabi. Para era ini gerakan fundamentalisme lebih terbentuk dan memiliki akses yang sangat luas, sehingga fundamentalisme berkembang secara pesat di Saudi Arabia. Sementara gerakan fundamentalisme di Mesir khususnya yang dilakukan oleh al-Ikhwân al-Muslimûn merupakan respons terhadap modernisasi dengan menggunakan argumen teologis untuk mengounternya. Sama seperti Saudi Arabia, gerakan di Mesir juga menjadikan Ibn H}anbal dan Ibn Taymîyah sebagai ikon dan spirit gerakan, khususnya dalam pembaruan melalui pemurnian ajaran Islam. Sementara sikap terhadap gerakan Wahhabi justru sebaliknnya, ada usaha untuk melakukan perlawanan karena alasan perbedaan sudut pandang. Secara lebih spesifik, mengutip pendapat Abdul Chalik, berikut ini adalah mata rantai tersebut. Mata rantai gerakan fundamentalisme di Saudi Arabia dan Mesir Ah}mad b. H}anbal 780-855 Ibn Taymîyah Kasus di Saudi Arabia 1263-1328 Muh}ammad b. Abd. Wahhab 1703-1878 Modernisasi M. Ali Pasya 1769-1849 Respons terhadap modernisasi Westernisasi Jamâl al-Dîn al-Afghânî 1939-1897 Muhammad Abduh1845-1905 Embrio fundamentalisme/ gerakan sosial keagamaan M. Rasyid Rida 1865-1935 Hasan al-Banna 1906-1949 Fundamentalisme/gerakan Sosial politik Sayyid Qut}b 1906-1966 Lihat Abdul Chalik, Islam dan Kekuasaan Yogyakarta Interpena, 2012, 45. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 Perbedaan mencolok antara periode al-Afghânî dengan al-Bannâ terletak pada model gerakan yang dikembangkan. IM sebagai organisasi sosial kemudian merambah ke dunia politik, dan akhirnya menjadi gerakan bawah tanah yang memiliki pengaruh luas seantero Mesir. Bahkan IM juga mengembangkan sayap pengaruh di kawasan Arab seperti Yordania, Suriah, Arab Saudi, dan Palestina. “Palestine Revolt 1936” dijadikan sebagai momentum perluasan pengaruh IM yang kemudian menjadi prototype gerakan-gerakan fundamentalis di banyak negara berpenduduk Muslim. Sesudah kematian Qut}b tahun 1966, gerakan fundamentalis IM bukan berhenti, bahkan lebih radikal dan revolusioner, dan masih berlangsung hingga sekarang meskipun dengan nama dan model yang berbeda. Masa Depan Politik Islam Indonesia Perbincangan Islam sebagai ideologi politik mulai santer terdengar sejak munculnya Piagam Jakarta. Piagam tersebut merupakan teks rancangan undang-undang yang secara tegas menempatkan agama Islam sebagai dasar negara. Salah satu bunyi teks tersebut adalah, “……Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan sharîah Islam bagi pemeluknya”, Teks tersebut secara tegas menyatakan Islam sebagai filosofi, dasar, landasan bagi pemeluknya yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini. Namun, penggunaan tujuh kata tersebut terus mengalami perdebatan hingga akhirnya sidang konstituante pada taggal 2 Juni 1959 yang dipimpin Soekarno, dengan suara mayoritas, 263 setuju untuk kembali ke teks UUD yang lama dengan menghilangkan tujuh kata tersebut. Perdebatan antara yang mengusulkan, menolak dan menerima tujuh kata dalam rancangan teks UU tersebut merupakan gambaran peta ideologis umat Islam pada masa-masa awal. Dari kalangan Islam di tim sembilan perumus UU, terpetakan ke beberapa kelompok Islam, yakni modernis, tradisional, fundamentalis dan nasionalis. Perdebatan antara menolak dan menerima memerlihatkan bagaimana Sebelum Indonesia secara resmi memerdekakan diri tahun 1945, Badan Penyilidik yang terdiri dari berbagai kalangan yang beranggotakan 9 orang, yaitu Hatta, Subardjo, Soekarno, Maramis, Kahar Muzakir, Wachid Hasyim, Abikusno dan Agus Salim menyuiapkan kerangka dasar Undang-Undang yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta Jakarta Charter. Lihat Ali Haidar, NU dan Islam Indonesia Jakarta Gramedia, 1994, 244. Ibid. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA ideologi organisasi memberikan pengaruh dalam perumusan sebuah ideologi negara. Jauh sebelum rumusan rancangan UU tersebut mengerucut pada usaha formulasi hukum Islam sebagai ideologi negara, perdebatan ideologi politik Islam sudah mengemuka. Dua organisasi besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang lahir sebelum munculnya wacana sharîah Islam dalam rancangan undang-undang sudah terlebih dahulu terlibat dalam perbincangan serius soal ideologi negara. NU dan Muhammadiyah memiliki sejarah kelahiran yang berbeda yang kemudian diusung menjadi ideologi gerakan mereka. NU yang pada awalnya bermazhab pada Hijazdan Muhammadiyah kepada Kairodari sisi latar belakang keagamaan memiliki corak dan perspektif yang berbeda. NU dikenal dengan ideologi tradisional sementara Muhammadiyah dikenal dengan corak modernis. Perbedaan pandangan tentang ideologi negara juga tergambar ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1955, sementara Muhammadiyah melebur ke Masyumi meskipun tidak sedikit dari Ormas selain Muahmmadiyah masuk ke Masyumi. Debat soal ideologi politik Islam baik di parlemen maupun di luar parlemen didominasi oleh dua kubu tersebut NU dan Muhammadiyah, baik pada Pemilu 1971, era fusi partai tahun Pada tahun 1922 sampai 1926, para aktivis dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama yang disebut “Kongres al-Islam” untuk membicarakan masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Kongres di antaranya diadakan di Mekkah Hijaz dan Kairo. Para ulama pesantren di Jawa Timur cenderung untuk menghadiri kongres di Hijaz karena ada persamaan pandangan soal materi-materi yang dibahas, dan pada saat itulah kemudian membentuk “Komite Hijaz” yang merupakan cikal bakal kelahiran NU. Lihat Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi Kuasa, dan Pencarian Makna Baru, terj. Farid Wajidi Yogyakarta LKiS, 1994, 33-35. Sementara Muhammadiyah dan Sarekat Islam cenderung memilih kongres di Kairo, karena di antara paham pembaharuan Muhammadiyah sangat dekat dengan paham Muh}ammad Rashîd Rid}â. Ibid., 33. Selain NU dan Muhammadiyah, sebenarnya masih banyak Ormas yang mengusung ideologi berbeda, sebagaimana Sarekat Islam SI, Persis, LDII, dan beberapa Ormas kecil. Namun suara mereka tidak terlalu signifikan dan dari sisi gerakan lebih bersifat lokal dan insidentil. SI misalnya, setelah Tjokroaminoto meninggal, hanya sedikit para tokoh yang ikut mengembangkan Ormas tersebut dan bahkan hanya terpusat di Solo dan sebagian kecil di kota lain. Lihat Lathiful Khuluq, “Sarekat Islam Its Rise, Peak, and Fall”, al-Jamiah, No. 60 1997, 247-267. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 1973,era Khittah NU tahun 1984. Namun demikian, kedua Ormas tersebut tidak mampu menembus kekuasaan Orde Baru yang selalu menggunakan tangan besi untuk melawan aktivis Islam yang berusaha untuk mengusung ideologi Islam dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Debat soal ideologi politik Islam hanya sebatas wacana dan menjadi isu-isu partisan untuk memengaruhi publik, karena tidak mampu menembus level negara. Apalagi usaha pembungkaman melalui pemaksaan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara oleh pemerintah dijalankan sangat efektif dengan memotong kekuatan politik di lembaga resmi seperti legislatif. Sejak tahun 1990-an, berbagai unsur Islam memeroleh peluang yang semakin luas dalam ruang-ruang negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam panggung politik ini sering disebut “politik akomodasi Islam”. Setidaknya ada empat pola akomodasi yang menonjol pertama, “akomodasi struktural”, yakni dengan direkrutnya para pemikir dan aktivis Muslim untuk menduduki posisi penting dalam birokrasi negara. Kedua, “akomodasi infrastruktur”, yakni penyediaan dan bantuan infrastruktur bagi kepentingan umat dalam menjalankan kewajiban agama mereka. Ketiga, “akomodasi kultural”, berupa diterimanya ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah publik seperti pemakaian jilbab, baju koko hingga ucapan al-salâm alaykum. Keempat, “akomodasi legislatif” yakni upaya untuk memasukkan aspek hukum Islam menjadi hukum negara, meskipun bagi umat Islam saja. Setelah era reformasi yang sukses menumbangkan rezim Soeharto pada tahun 1998 dengan dibukanya kran demokrasi dan kekebasan berpolitik praktis, perbincangan Islam sebagai ideologi politik mencapai puncaknya. Bersamaan dengan itu, Ormas Islam yang selama Orde Baru tiarap dan lebih banyak bergerak di bawah tanah Setelah Pemilu 1971, ada usaha untuk menfusi partai-partai oleh Orde Baru karena dianggap tidak efektif. Pada tahun 1973, kemudian lahir PPP yang merupakan gabungan dari NU, MI, PSII, Parmusi dan Perti. Sementara partai nasionalis dan Kristen bergabung dengan PDI. Lihat Saiful Muzani, “The Devaluation of Aliran Politics Views of the Third Congress of PPP”, Studia Islamika, Vol. 1, No. 3 1994, 177-219. Dua tokoh sentral umat Islam pada era tersebut, Gus Dur dan Amien Rais hanya mampu mengusung isu-isu representasi politik umat Islam, atau yang dikenal dengan “Islam struktural”. Sementara Gus Dur hanya bekutat pada wilayah pribumisasi Islam, atau yang dikenal dengan sebutan “Islam kultural” sebagai jawaban atas stagnasinnya peran politik pada era tersebut. Arif Affandi peny., Islam Demokrasi Atas-Bawah Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1997, 2-19. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA bermunculan dengan agenda ideologi politik yang berbeda. Bersamaam dengan era Reformasi, muncul Ormas Majelis Mujahidin Indonesia MMI, Hizbut Tahrir Indonesia HTI, Laskar Ahlus Sunnah Waljamaah, Laskar Jihad, Front Pembela Islam FPI, Dakwah Salafi. Hal yang sama juga terjadi pada partai politik, baik yang secara langsung berafiliasi dengan Ormas Islam maupun yang secara tersembunyi berdiri di belakang Ormas Islam. Baik MMI maupun HTI secara tegas mengusung agenda politik legalisasi hukum Islam dalam sebuah negara, dan menganggap bahwa negara yang tidak menjadikan sharîah sebagai UU dianggap bertentangan dengan Islam. Baik MMI, HTI, FPI, Laskar Jihad yang sering disebut “Gerakan Islam Baru” new Islamic movement merupakan gerakan impor Timur Tengah melalui transmisi gerakan alumni di seluruh para alumni Timur Tengah, gerakan Islam ini dengan cepat menyebar ke masyarakat, baik melalui pesantren, madrasah, h}alâqah, hingga Ormas dan partai politik. Gerakan Islam tersebut selama ini masih tiarap dan mencari momentum untuk tumbuh dan berkembang sebagai alternatif atas reaksi pemerintah yang cenderung sekuler dan keluar dari ajaran Islam. Penutup Yang dimaksud dengan ideologi politik Islam di sini adalah interpretasi keagamaan dari berbagai ide yang saling berkaitan yang ada dalam aliran-aliran Islam, yang merefleksikan moral, kepentingan, serta komitmen sosial-politik. Ideologi politik Islam tidak bisa dilepaskan dari hubungan agama dan negara dalam Islam, terutama gerakan fundamenlaisme yang secara terorganisir baru muncul abad MMI merupakan organisasi fundamentalis yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir. Salah satu hasil Kongres MMI di Yogyakarta tahun 5-7 Agustus 2000, disebutkan bahwa wajib hukumnya melaksanakan sharîah Islam bagi umat Islam di Indonesia dan di dunia pada umumnya. Sementara UUD 1945 buatan manusia, karena tidak sakral dan bisa berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Lihat Abdur Rohim, “Fenomena Fundamentalisme Islam Indonesia MMI”, Akademika, Vol. 16., No. 2 2005, 127-128. Hizbut Tahrir HTdidirikan oleh Taqîy al-Dîn al-Nabhânî 1905-1977, mantan pengikut al-Ikhwân al-Muslimûn dan Hakim di Paletsina. HT Indonesia berusaha untuk melegalisasi khilâfah dalam sebuah negara. Lihat Ainur Rofiq al-Amin, “Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”, Akademika, Vol. 16., No. 2 2005, 110-115. Secara jelas tentang sejarah transmisi ini lihat, M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia Jakarta Erlangga, 2002, 71-121. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 19 di Saudi Arabia dan Mesir namun benihnya sudah ditanam sejak era Ibn H}anbal, tiga abad setelah Nabi meninggal. Dalam perkembangannya, muncul berbagai diversifikasi hubungan yang bermuara pada pengejewentahan ideologi politik Islam. Hubungan tersebut adalah Pertama,, hubungan yang bercorak skriptualis-rasional. Polarisasi ini berhubungan dengan pendekatan terhadap sumber al-Qur’ân dan H}adîth. Kecenderungan skriptualistik-rasional melahirkan pemahaman tekstualistik dan literalistik, penasfsiran yang berorientasi pada bahasa. Kedua kecenderungan idealis-realis. Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam ideal. Termasuk dalam kecenderungan ini adalah penafsiran negara yang bersifat filosofis. Sementara kecenderungan realis menolak terhadap kecenderungan idealis, dan menerima semua kenyataan pemerintahan dalam Islam dengan konsekuensi memberikan legitimasi kekuasaan atau mengontrol kekuasaan. Ketiga, formalis-substantif. Konsep formalistik lebih mengedepankan bentuk dari pada isi. Pembentukan negara menurut paham ini dengan menampilkan simbol keagamaan dalam negara. Sementara kecenderungan substantif lebih menekankan isi daripada bentuk. Dalam wilayah ini, format negara bukan sesuatu yang penting melainkan nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam sejarah Islam Indonesia terdapat polarisasi yang sangat kaya. Sejak zaman pra-kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan yang beraneka ragam yang dipresentasikan oleh Ormas atau Orsospol. Oleh para pengamat keberagaman Islam ini diidentifikasi dengan berbagai nama atau label. Ada Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam puritan, Islam skriptualis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrem, Islam militan, Islam abangan, Islam nasionalis hingga Islam liberal. Demikian pula ketika Islam sudah masuk pada area ideologi politik, baik yang secara terang-terangan memakai baju partai politik maupun Ormas Islam, maupun secara tersembunyi yang berusaha mengusung ideologi politik Islam. Daftar Rujukan Affandi, Arif peny.. Islam Demokrasi Atas-Bawah. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1997. al-Amin, Ainur Rofiq. “Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”, Akademika, Vol. 16., No. 2, 2005. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, terj. Mujiburrahman. Yogyakarta Pustaka Fajar Baru, 2001. al-Maududi, Abu A’la. Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir. Bandung Mizan, 1994. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta Paramadina, 1996. Ball, Terrence dan Dagger, Richard. Political Ideologies and the Demodratic Ideal. New York Harper Collins College Publishers, 1995. Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago Chicago University Press, 1988. Bruinessen, Martin van. NU, Tradisi, Relasi Kuasa, dan Pencarian Makna Baru, terj. Farid Wajidi. Yogyakarta LKiS, 1994. Chalik, Abdul. Islam dan Kekuasaan. Yogyakarta Interpena, 2012. Crecelius, Daniel. “Nonideological Responses of The Egyptian Ulama to Modernization”, dalam Nikki R. Keddie, Scholars Saints and Sufis. California University of California Press, 1978. Dant, Tim. “A Modern Approach to Ideological Critique” dalam Knowledge, Ideology and Discourse A Sociological Perspective. London Routledge, 1991. Haidar, Ali. NU dan Islam Indonesia. Jakarta Gramedia, 1994. Jainuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya LPAM, 2004. Khan, Qomarudin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj. Anas Mahyudin. Bandung Pustaka, 1983. Khuluq, Lathiful. “Sarekat Islam Its Rise, Peak, and Fall”, al-Jamiah, No. 60, 1997. Magnis-Suseno, Franz. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta Penerbit Kanisius, 1995. Maliki, Zainuddin. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya LPPAM, 2004. Mannheim, Karl. Ideology. London Routledge dan Kegan Paul, 1989. Muzani, Saiful. “The Devaluation of Aliran Politics Views of the Third Congress of PPP”, Studia Islamika, Vol. 1, No. 3, 1994. Pecheux, Michel. “The Mechanism of Ideological mis-Recognition” dalam Slavoj Zizek ed., Mapping Ideology. London UK, 1994. Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta Erlangga, 2002. Rohim, Abdur. “Fenomena Fundamentalisme Islam Indonesia MMI”, Akademika, Vol. 16., No. 2, 2005. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 Sagiv, David. Islam Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta LKiS, 1997. Wals, David. “Kata Pengantar” dalam David Walls. After Ideology Recovering the Spritual Foundations of Freedom. Washington DC The University of Catholic Press, 1990. ... Realitas keislaman dunia Islam saat ini disuguhi dengan berbagai macam bentuk, di antaranya adalah kelompok Islam yang diidentifikasikan fundamentalis dan ada pula yang moderat. Fundamentalisme merupakan sebuah paham keagamaan yang seluruh pandangan dunia dan kehidupannya didasarkan pada kitab suci Chalik, 2015;Noor, 2016;Zulfadli, 2017. Jadi, ideologi fundamentalisme merupakan sebuah paham keagamaan yang menggunakan agama sebagai sistem politik dan kitab suci dijadikan sebagai landasan berpijak. ...Albeit the research into Junaid Sulaeman as the most famous Islamic Cleric in South Sulawesi was extensively undertaken, little empirical research addressed his political biography. This research aimed to explore his political Hijrah from Islamic fundamentalism to Islamic moderate. This research adopted a biography study design. To collect data, a documentary analysis based on Junaid Sulaeman’s diary and in-depth interview were conducted. The data analysis was carried out thematically using Azra’s and Al-Jauhari’s concept of fundamental and moderate Islam. The research revealed three findings. First, Junaid Sulaeman’s political Hijrah was conducted from Darul Islam toward Golongan Karya party. Second, the factors that drove Junaid Sulaeman’s participation in the political movement included the changing of socio-political context, the breadth and depth of his religious knowledge, the need to get Allah's guidance, and the consideration of dawah. Third, the implications of Junaid Sulaeman's political movement were known from the expansion of his local and national network, as well as the development of socio-religious institutions in Bone. The research concluded that a good cooperation between the ulama and the government could provide more benefits and blessings to the community. Irham IrhamZakaria Husin LubisThis article is written to explain the dynamics of contemporary Islamic thought and the role of Islamic education as one of its supports. The dynamics of Islamic thought are diverse but have the same character that is opposite thoughts and thoughts that seek common ground. The opposite thoughts depicting here are Islamic fundamentalism and liberalism. Then the thought that seeks common ground here is called hybrid thought. This article is a literature review by utilizing the findings in the previous study formulated into new findings that have not been discussed in the previous study. This paper concludes that the dynamic of contemporary Islamic thought with its character grows not from the role of Islamic education. Although it cannot be denied that the role of Islamic education in this case is not the only one, because there are other factors such as historical, political, technological, globalization, modernization, social and cultural contexts. Fundamental Islamic thought can be sustained and developed by an ideological-purist Islamic education model manhaj salafi. Likewise, the form of liberal thinking and development by an academic-scientifically oriented, rational and secular model of education. Hybrid forms of thought that are supported by a moderate-inclusive education model that develop textual-contextual methods, balance nasal sources, reason and intuitive, accommodate old and modern traditions that are still relevant and do not conflict with religious values. الملخص هذه المقالة تقصد لشرح ديناميات الفكرة الاسلامية المعاصرة و دور التعليم الاسلام الذي أصبح في عداد من دماعته . أن ديناميات الفكرة الاسلامية مختلفة ولكن لديها صبغة يعنى الفكرالذي ينعكس بعضها بعضا، والفكر الذي يسعى النتيجة . والفكر المنعكس الذى شرح هنا هي الأصولية والليبرالية الاسلام . ثم الفكرالذي يبتغي النتائج هنا يسمى بفكر الهجين . هذا المقال يقولب مراجعة الادبيات التى تستخدم النتائج في دراسة السابق ثم وضعت ليكون المكتشف الجديد الذي لم يبحث في دراسة السابق . هذه الكتابة تجمل أن ديناميات الفكرة الاسلامية المعاصرة مع طبيعتها نشأت لا تتخلع من دور التعليم الاسلام . وعلى الرغم ، لاشك أن دور التعليم الاسلام ليست وحدة في هذه الحالة ، لأن هناك عوامل أخرى مثل العوامل التاريخ ، والسياسية ، والتكنولوجي ، والعولمة ، والتحديثة ، وسياق الاجتماعية والثقافية . الفكرة الاسلامية الاصولية مستمرة و يبنى أو يولد عن شكل التعليم الاسلام العقائدي المنهج السلفي . لذلك أيضا شكل من الفكر الليبرالي مستمرة و يولد عن شكل التعليم المنحى في الدرسي العمي ، عقلي ، و زمني . و شكل الفكر الهجين مستمرة عن شكل التعليم الوسطي ضمنا الذي تطورأساليب النصية والسياقية , يتوازن مصدر النص حيلة وبديهية ، تكيف التقليد القديم والحديث كان وثيق و لا يتعارض عن قيمة الدين . Abstrak Artikel ini bermaksud untuk menjelaskan dinamika pemikiran Islam kontemporer dan peran pendidikan Islam yang menjadi salah satu penopangnya. Dinamika pemikiran Islam itu beragam namun memiliki karakter yang sama yaitu pemikiran yang saling berlawanan dan pemikiran yang mencari titik temu. Pemikiran yang saling berlawanan yang dijelaskan di sini adalah fundamentalismedan liberalisme Islam. Kemudian pemikiran yang mencari titik temu di sinidisebut dengan pemikiran hybrid. Artikel ini merupakan kajian pustaka dengan memanfaatkan temuan-temuan dalam kajian terdahulu lalu dirumuskan menjadi temuan baru yang belum dibahas pada kajian ini menyimpulkan bahwa dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan karakternya tumbuh berkembang tidak terlepas dari peran pendidikan Islam. Meskipun tidak dipungkiri bahwa peran pendidikan Islam dalam hal ini bukan satu-satunya, karena masih ada faktor lainnya seperti faktor sejarah, politik, teknologi, globalisasi, modernisasi, konteks sosial dan budaya. Pemikiran Islam fundamental dapat ditopang dan dilahirkan oleh model pendidikan Islam idiologis-puris manhaj salafi. Begitu pula bentuk pemikiran liberal ditopang dan dilahirkan oleh model pendidikan yang berorientasi akademik-ilmiah, rasional dan sekuler. Bentuk pemikiran hybridditopang oleh model pendidikan moderat-inklusif yang mengembangkan metode tekstual-kontekstual, menyeimbangkan sumber nas}, akal dan intuitif, mengakomodasi tradisi lama dan modern yang masih relevan dan tidak bertentangan dengan nilai agama. Abdul ChalikDuring the weakening of bargaining position of Islam in world’s view because of terrorism issue after the Black September 2001’, ISIS arise, a socio-political organization that is even more extreme than the predecessor, al-Qaeda. ISIS not only make the West afraid because of all the exploitation, especially after the Paris terror in the mid of November 2015, but also hurt the feeling of Muslims as they involve the name of Islam-while the behavior is contrary to the belief in Islam. Geopolitically, the position of Islamic world is in dilemma; one side it must deal with the Muslims, while on the other side it should be in synergy with foreign powers against its own nation or brothers. The Islamic world position to face the power of ISIS is weak. Different from ISIS or al-Qaeda which is extreme and exclusive, Islam Nusantara is on the contrary. This article was written by a descriptive-explorative method by presenting the issues of the Islamic world today and its relationship with the ideology of Islam Nusantara being built. Abstrak Peranan Islam Nusantara dalam Dinamika Geopolitik Dunia Islam. Tulisan ini berangkat dari kegelisahan terhadap lahirnya ISIS, sebuah gerakan sosial politik yang lebih ekstrim dibandingkan dengan pendahulunya, al-Qaeda. Satu sisi, organisasi ini tidak saja membuat Barat ketakutan atas segala sepak terjangnya, terutama pasca teror Paris di pertengahan Nopember 2015, pada sisi yang lain juga menciderai perasaan umat Islam karena dianggap mendompleng atas nama agama Islam—sementara perilakunya berlawanan dengan ajaran Islam. Secara geopolitik posisi dunia Islam mengalami dilema; satu sisi harus berhadapan dengan Muslim sendiri sementara pada sisi yang lain harus bersinergi dengan kekuatan asing untuk melawan bangsa atau saudara sendiri. Berbeda dengan Islam ala ISIS atau al-Qaeda yang bercorak ekstrim dan eksklusif, Islam Nusantara berpandangan sebaliknya. Artikel ini ditulis dengan metode ekploratif deskriptif—dengan menyajikan persoalan dunia Islam saat ini dan hubungannya dengan ideologi Islam Nusantara yang sedang dibangun. Keywords Islam Nusantara, Islamic world geopolitics, ISIS Mukodi MukodiThere is an increasing concern as if discussing politics in pesantren Islamic Boarding School was uncommon. This oddity is due to the conception of a person who puts pesantren merely a decontextualised scholarly reproduction of an-sich from the real world problem or real politics and not as an agent of change. In fact, pesantren is a replica of life integrating various life skills, including politics. The most interesting finding was that the diverse activities of life in the boarding school had raised the seedling of students’ political sense. This article also recommends the presence of political boarding school establishment, as a political incubator for Islamic activists as the continuity of conditioning political awareness in pesantren. Its realization is believed to be able to trigger the acceleration of the Islamic ideal leader candidate in Indonesia. Saiful MujaniThis article suggests the political dynamics that occur at the time of the conference the Partai Persatuan Pembangunan PPP, which was held on 29 August to 2 September opinions that say that the congress of the United Development Party PPP that has its own strategic significance because the results will determine the 1997 election and then General Session, 1998. At this General Assembly will take place according to many in the national succession, including the change of state leaders, the president Republic of Indonesia. So many groups concerned with this third congress PPP who is leading the party's control she would participate in such an important time of c 2014 by SDI. All right Agung Tiga Teori Sosial HegemonikZainuddin MalikiMaliki, Zainuddin. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya LPPAM, Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta LKiSDavid SagivSagiv, David. Islam Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta LKiS, sebagai Ilmu KritisFranz Magnis-SusenoMagnis-Suseno, Franz. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta Penerbit Kanisius, Mechanism of Ideological mis-Recognition " dalam Slavoj ZizekMichel PecheuxPecheux, Michel. " The Mechanism of Ideological mis-Recognition " dalam Slavoj Zizek ed., Mapping Ideology. London UK, Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-ModernismeAzyumardi AzraAzra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta Paramadina, JainuriOrientasi Ideologi GerakanIslamJainuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya LPAM, Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke IndonesiaM RahmatImdadunRahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta Erlangga, 2002.
ISESCPdan masa depan dunia Islam dibahas dalam UNA-OIC. ISESCP dan masa depan dunia Islam dibahas dalam UNA-OIC. REPUBLIKA.ID; REPUBLIKA TV; GERAI; IHRAM; REPJABAR; REPJOGJA; RETIZEN; BUKU REPUBLIKA; REPUBLIKA NETWORK; Saturday, 23 Sya'ban 1443 / 26 March 2022. Menu. HOME; RAMADHAN
*Disampaikan dalam pelantikan KAHMI Malaysia di Kampus IIUM Malaysia. Oleh Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ Pendahuluan Al-Qur’an menyatakan dengan sangat tegas bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam untuk umat manusia al-Ma’idah 3. Konsekuensi deklarasi tersebut adalah Islam akan senantiasa relevan sampai akhir zaman. Keparipurnaan Islam mestinya membuat Islam menjadi agama paling luhur ya’luu wa laa yu’laa alayh. Kehidupan yang dilaksanakan berdasarkan panduan atau petunjuk Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw. akan melahirkan kebudayaan yang terbaik dan kemudian berujung kepada peradaban yang terunggul. Keunggulan itu benar-benar terjadi ketika Nabi Muhammad menjadi pemimpin di Madinah. Oleh para pemimpin sepeninggal Nabi Muhammad, ajaran Islam benar-benar dijadikan sebagai landasan, sehingga melahirkan peradaban unggul. Banyak ilmuan, baik muslim maupun non-muslin, menyebut bahwa puncak peradaban Islam terjadi pada era Bani Abbasiyah, tepatnya saat berada di bawah kepemimpinan al-Ma’mun, seorang yang dikenal sebagai sangat mencintai ilmu pengetahuan Anthony Black, 2001, hlm. 65-69. Doktrin Islam di dalam al-Qur’an dan hadits menjadi motivasi yang sangat kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga teknologi. Karena itulah, pada era ini, muncul ilmuan-ilmuan dan juga penemu yang karya-karyanya bahkan menjadi fondasi dan sekaligus pemantik api peradaban Barat pasca-renaissance. Pada saat yang bersamaan, umat Islam kemudian justru mengalami ketertinggalan yang sangat jauh dalam sains dan teknologi. Lebih celaka lagi, karena sains dan teknologi itu kemudian berkembang dengan sangat cepat dalam masyarakat sekuler di Barat itu, maka muncul dan menguat pandangan di kalangan sebagian besar umat Islam, bahkan di kalangan cerdik cendekianya, bahwa untuk menjadi maju, maka juga harus menjadi sekuler. Agama, sebagaimana di Barat, dipandang sebagai penghalang pengembangan sains dan teknologi sebagai salah satu pilar peradaban. Tentu saja ini merupakan pandangan keliru disebabkan kurangnya wawasan tentang sejarah peradaban lengkap dengan konteks timbul dan tenggelamnya. Karena itu, diperlukan kajian yang komprehensif untuk membangun paradigma bahwa Islam merupakan ajaran yang sejatinya justru sangat diperlukan untuk membangun peradaban dunia di masa depan. Dengan peradaban Islam, umat manusia akan hidup lebih sejahtera lebih mudah, sejahtera di dunia dan akan bahagia di dalam kehidupan setelahnya. Perspektif Tentang Peradaban Peradaban berasal dari bahasa Arab “adab”, berari sopan santun, tata krama, moral, dan nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat. Namun, karena baik buruk dalam masyarakat itu subjektif, sejak kedatangan Islam, baik dan buruk dikonstruksi berdasarkan benar haqq atau salah baathil berdasarkan ketentuan atau ketetapan kitaab Allah. Dalam konteks ini, dasarnya adalah ajaran agama Islam. Dengan kata lain, peradaban adalah segala daya upaya umat manusia untuk tidak hanya menjalankan ketetapan Allah, tetapi melakukannya dengan sebaik-baiknya dengan lebih mudah dan nuansa yang lebih indah. Namun, dalam penggunaan selanjutnya, seringkali istilah peradaban digunakan secara bebas, tanpa kaitan dengan Islam sama sekali. Ia sering dipadankan dengan kata civilization dalam bahasa Inggris, yang merupakan bentuk tetap, karena merupakan tahap tertinggi budaya culture yang dalam banyak aspek bebas nilai. Ibnu Khaldun telah memberikan perspektif tentang peradaban secara komprehensif. Menurutnya, suatu peradaban akan terwujud apabila memenuhi tiga hal dasar, yaitu kemampuan berpikir yang menghasilkan sains dan teknologi, kemampuan membangun organisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan kesanggupan berjuang untuk hidup. Ibnu Khaldun, 1978, hlm. 54-57. Pandangan yang sejalan dengan itu, dikatakan oleh Spengler. Menurutnya, peradaban adalah sesuatu yang it has been sudah selesai, sedangkan kebudayaan sebagai it becomes sesuatu yang menjadi. Dengan kata lain, peradaban merupakan kebudayaan yang mengalami perkembangan sampai taraf tinggi dan kompleks. Karena itulah, pembahasan tentang peradaban harus didasari dengan konsep kebudayaan. Menurut Toynbee, kebudayaan muncul karena adanya jawaban atas tantangan, dan itu diberikan oleh minoritas yang kuat. Toynbee juga memberikan catatan bahwa kebudayaan yang sudah dibangun, bisa saja mengalami kemerosotan. Sebelum mengalami kehancuran dan kemudian lenyap, biasanya muncul usaha-usaha pencegahan oleh para pemilik jiwa besar yang bertindak sebagai mesiah. Pandangan ini menarik karena yang diajukan oleh mesiah adalah penegakan gagasan-gagasan Tuhan. Dan tentu saja, untuk itu, yang harus dilakukan adalah mengetahui ide-ide Allah dalam kitab suciNya. Walaupun Toynbee menyebut ini dalam konteks Protestan, tetapi sesungguhnya kerangka berpikir ini menjadi sangat relevan bagi umat Islam. Sebab, umat Islam sebagai pemilik kitab suci yang asli, belum mengalami perubahan sedikit pun, yang akan mampu melakukannya. Karena itulah, diperlukan para filsuf atau ilmuan yang memiliki tradisi empiris yang didasarkan kepada gagasan-gagasan religius dalam kitab suci yang asli. Oleh Sammuel P. Huntington, berbagai peradaban yang berbeda itu bisa menyebabkan konflik Sammuel P. Huntington, 2007, hal. 22-49. Ada tujuh atau delapan peradaban utama menurutnya, yaitu Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika. Pendapat Huntington ini mirip dengan yang dikatakan oleh Toynbee tentang 26 peradaban dalam sejarah dunia. Dari jumlah peradaban itu 16 telah musnah, tiga lebur, sementara itu tujuh lainnya masih bertahan. Ketujuh peradaban itu kemudian dikombinasikan menjadi lima, yaitu Barat, Kristen Ortodoks, termasuk Eropa Tenggara, Islam, Hindu, dan Timur Jauh, termasuk di dalamnya Cina, Jepang, dan Korea. Dalam konteks peradaban yang harus dipilari oleh sains dan teknologi, Sayyed Hossein Nasr, memiliki pandangan yang cocok digabungkan dalam perspektif peradaban tersebut. Ia menyebut ilmu pengetahuan dengan scientia sacra ilmu sakral untuk menunjukkan bahwa aspek kearifan ternyata jauh lebih penting dari pada aspek teknologi yang sampai saat ini masih menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern. Karena itu, untuk membangun peradaban yang Islam, diperlukan upaya reintegrasi sains dan teknologi ke dalam Islam. Peradaban Islam Untuk Dunia Peradaban yang baik dibangun dengan menggunakan ide-ide Allah. Sebab, Allahlah yang mengetahui apa yang baik bagi umat manusia dan seluruh alam semesta. Peradaban dunia akan cocok bagi kehidupan manusia apabila dalam aspek teologis menjadikan hanya Allah sebagai satu-satunya Tuhan tauhid, hubungan yang harmonis dan sinergis antar sesama umat manusia ta’awun, dan kepemimpinan politik yang adil al-adl. Rasulullah telah memberikan teladan dalam seluruh aspek kehidupan secara konktet, dimulai dengan jalan kultural dan disempurnakan dengan jalan struktural. Periode Makkah merupakan periode dakwah kultural, sedangkan Madinah merupakan periode dakwah yang dilakukan secara kultural dan struktural sekaligus. Madinah sering diartikan dengan kota atau negara. Secara harfiyah sesungguhnya berasal dari kata daa-na, ya-dii-nu, da-y-nan, wa ma-dii-na-tan, berarti tempat untuk menjalankan kontrak, komitmen, atau agama. Dengan definisi ini, tinggi rendah peradaban sesungguhnya diukur dengan transformasi agama yang terjadi. Mehdi Mozaffari, 2002, hlm. 198. Untuk lebih memudahkan pelaksanaan ajaran agama, diperlukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini merupakan konsekuensi dari eksistensi manusia yang dikarunia Allah kemampuan untuk menangkap tanda-tanda dan kemampuan daya cipta. Ini merupakan indikator kasar mata peradaban. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Nasr, ia harus tetap berdasar kepada gagasan Tuhan yang sakral. Berdasar perspektif itu, peradaban Islam menjadi peradaban tertinggi. Sebab, ia bersifat multidimensi. Tidak hanya terbatas pada aspek fisik, tetapi juga spritual. Dalam kerangka tersebut, agama dan saintek bagaikan fondasi dan bangunan yang ada di atasnya. Keduanya harus terhubung dengan baik, sehingga menjadi satu kesatuan bangunan yang kokoh dan juga megah/indah. Untuk itu, harus ada keseriusan untuk hijrah dari cara pandang sekuler. Cara pandang sekuler harus dipandang sebagai cacat pikiran yang akan menghasilkan kegagalan. Namun, ketiganya itu harus diperjuangkan. Perjuangan itu tidak mungkin terjadi apabila umat Islam tidak menguasai ekonomi dan juga politik. Bahkan peradaban paling awal yang dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah pun, sebagaimana disebutkan di awal, dibangun dengan juga menggunakan kekuasaan politik. Tantangan dan Peluang Untuk mewujudkan pembangunan peradaban dunia yang Islami, pada dasarnya terdapat tantangan dan peluang. Tantangan yang harus dihadapi adalah sebagai berikut Pertama, peradaban Barat saat ini nampak begitu kuat dan berjaya dengan banyaknya temuan-temuan ilmiah. China belakangan ini berhasil melakukan akselerasi di bidang ekonomi dan lebih menonjol lagi di bidang teknologi, bahkan mampu menciptanya secara massal sehingga terus merangsek untuk menguasai pasar dunia. Kedua, mayoritas pusat keilmuan, terutama perguruan tinggi excellent, di negara-negara Islam maupun yang mayoritas penduduknya muslim, didominasi oleh paradigma keilmuan sekuler. Ketiga, mayoritas intelektual muslim, bahkan yang juga dikenal sebagai aktivis pergerakan, tidak memiliki akses yang cukup kepada al-Qur’an dan hadits, karena tidak memiliki kemampuan bahasa Arab yang cukup. Keempat, kompleks rendah diri inferiority compleks di kalangan umat Islam, termasuk di kalangan cendekiawannya. Sesungguhnya ini merupakan implikasi saja dari pandangan bahwa secara kasat mata Barat dan juga China jauh lebih maju. Kelima, kesadaran politik ummat Islam masih sangat lemah. Ini juga akibat kuatnya paradigma Barat modern bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Padahal peradaban Islam akan lebih mudah dibangun apabila negara berperan. Dan untuk itu, diperlukan cendekiawan muslim di dalam posisi-posisi kunci penentu kebijakan politik kenegaran yang bertugas untuk melakukan transformasi agama ke dalam ke dalamnya, utamanya dengan jalan objektivikasi. Abdullahi Ahmed An-Naim, 2007 Sedangkan peluang untuk mewujudkan peradaban yang Islami sesungguhnya tetap terbuka, karena beberapa faktor, di antaranya Pertama, untuk membangun peradaban diperlukan hanya sejumlah kelompok kecil yang kreatif creatif minority. Jika di kalangan cendekiawan muslim terdapat di antaranya yang secara konsisten memperjuangkan gagasan pembangunan peradaban dunia yang Islami, maka pada momentum tertentu, peluang itu akan didapatkan. Kedua, secara logis, disebabkan peradaban lain tidak bersumber dari kebenaran ilahiyah, maka akan ada saat di dalamnya terdapat kontradiksi yang menyebabkannya mengalami krisis, lalu ditinggalkan. Ketiga, ummat Islam memiliki kitab suci yang terjamin keasliannya, sedangkan di dalamnya terdapat inspirasi-inspirasi besar yang apabila digali oleh orang-orang yang memiliki kesadaran besar, maka peluang untuk menghasilkan gagasan dan kerja besar juga selalu terbuka. Jika peradaban lain memerlukan riset lanjutan dengan biaya yang besar, maka umat Islam sesungguhnya tinggal menjalankan saja apa yang dikatakan oleh al-Qur’an dan sunnah, tentu saja dengan basis interpretasi yang akurat kepada keduanya. Keempat, jumlah umat Islam di berbagai negara, terutama di negara-negara Barat-Eropa berkecenderungan meningkat. Ini bisa menjadi potensi yang bisa membuka jalan bagi ummat Islam untuk memegang jabatan-jabatan politik. Dengan adanya usaha sadar untuk itu, maka kemungkinannya akan menjadi semakin besar. Untuk itu, para cendekiawan muslim yang sudah mendapatkan kesadaran ilahiyah tentang perlunya pembangunan peradaban Islami, harus melakukan “dakwah” secara kontinue, agar kesadaran tersebut bisa diterima dalam skala yang lebih luas. KAHMI dalam konteks ini bisa memberikan kontribusi dengan memulainya di Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim. Terlebih lagi KAHMI memiliki SDM yang paling siap untuk memainkan peran sebagai minoritas kreatif. Satu prasyarat yang harus dimiliki oleh KAHMI yaitu penguatan akses kepada al-Qur’an dan hadits, agar sebuah frase di dalam hymne HMI “turut al-Qur’an hadits jalan keselamatan” benar-benar bisa dilaksanakan dan juga diperjuangkan dalam konteks politik kenegaraan. Wallahu a’lam bi al-shawab. Daftar Pustaka Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, Bandung Mizan, 2007. Anthony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Jakarta Serambi, 2001. Ibnu Khaldun, Muqaddimah An Introduction to History, Panteon Books, 1978. Mehdi Mozaffari Ed., Globalization and Civilization, London Taylor & Francis Ltd., 2002. Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, Edinburgh University Press, 1981. Sammuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New York Simon & Schuster, 1993.
2Cara Mendidik Anak Menurut Agama Islam: Membiasakan Anak Untuk Beribadah Foto: Unsplash. Beribadah merupakan hal yang wajib bagi seluruh umat islam di dunia ini. Dalam mengajarkan tentang pentingnya beribadah kepada Allah sejak dini adalah dengan cara mengajarkan kepada anak tentang tata cara shalat yang benar itu seperti apa, tata cara kepada mereka, serta ibadah-ibadah sunnah lainnya.
MASA DEPAN ISLAMOleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniAllah Subhanahu wa Ta’ala الَّذى أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِا لْهُدَى وَدِيْنِ الْْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْن “Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk Al-Qur’an dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”. [At-Taubah/9 33].Kita patut merasa gembira dengan janji yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui firman-Nya itu, bahwa Islam dengan kearifan dan kebijkasanaannya mampu mengalahkan agama-agama lain. Namun tidak sedikit yang mengira bahwa janji tersebut telah terwujud pada masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, masa Khulafaur Rasyidin, dan pada masa-masa khalifah sesudahnya yang bijaksana. Padahal kenyataannya tidak demikian. Yang sudah terealisasi saat itu hanyalah sebagian kecil dari janji di atas, sebagaimana di isyaratkan oleh Rasul Shallallahu alaihi wa sallam, melalui sabdanya لاَيَذْ هَبُ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ حَتَّى تُعْبَدَ اللاَّتَ وَالْعُزََّى فَقَالَتْ عَاءِشَةُ يَا رَسُلُوْاللهِ اِنْ كُنْتُ لاَظُنُّجِيْنَ اَنْزَلَ اللهُ هُوَالَّذِىْاَرْسَلَرَسُولَهُ بِا لْهُدى وَدِينِ الجَقِِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الَّذِ ينَ كُلِّه وَلَوكَرِهَ الْمُشٍْرِكُونَ , اَنَّ ذ لِكَ تَامًّا قَالَ اِنَّهُ سَيَكُوْنُ مِنْ ذلِكَ مَاشَاءَاللهُ. اَلجديث“Malam dan siang tidak akan sirna sehingga Al-Lata dan Al-Uzza telah disembah. Lalu Aisyah bertanya Wahai Rasul, sungguh aku mengira bahwa tatkala Allah menurunkan firman-Nya “Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk Al-Qur’an dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai, hal ini itu telah sempurna realisasinya”. Beliau menjawab “Hal itu akan terealisasi pada saat yang ditentukan oleh Allah”.Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam-Imam yang lain. Saya telah mentakhrijnya di dalam kitab saya Tahdzirus Sajid Min Ittkhadzil Qubur Masajida [Peringatan Bagi Yang Sujud Untuk Tidak Menjadikan Makam Sebagai Masjid, hal 122].Banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan masa kemenangan Islam dan tersebarnya ke berbagai penjuru. Dari hadits-hadits itu tidak diragukan lagi bahwa kemenangan Islam di masa depan semata-mata atas izin pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan catatan harus tetap kita perjuangkan, itu yang penting. Berikut ini akan saya tampilkan beberapa hadits yang saya harapkan dapat membakar semangat para pejuang Islam dan dapat dijadikan argumentasi untuk menyadarkan mereka yang fatalis tanpa mau berjuang sama اَ ْلاَوََّلُ ,, اِنَّ اللهَ زَوى , اَىْجَمَعَ وَضَمَّ لِىَ اْلاَرْضُ فَرَاَيْتَ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِ بَهَا , وَاِنَّ اُمَّتِى سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَازَوى لِى مِنْهَا . الحديث“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghimpun mengumpulkan dan menyatukan bumi ini untukku. Oleh karena itu, aku dapat menyaksikan belahan bumi Barat dan Timur. Sungguh kekuasaan umatku akan sampai ke daerah yang dikumpulkan diperlihatkan kepadaku itu”.Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim 8/171, Imam Abu Daud 4252, Imam Turmudzi 2/27 yang menilainya sebagai hadits shahih. Imam Ibnu Majah 2952 dan Imam Ahmad dengan dua sanad. Pertama berasal dari Tsaubah 5/278 dan kedua dari Syaddad bin Aus 4/132, jika memang haditsnya mahfuzh terjaga.Ada hadits-hadits lain yang lebih jelas dan luas yaitu ٣. اَلثَّا نِى ,, لَيَبْلُغَنَّ هذَا اْلاَمْرُ مَا بَلَغَ الَّيْلَ وَالنَّهَارُ وَلاَيَتْرُكُ اللهُ بَيْتَ مَدَرٍ وًلاَوَبَرٍ اِلاَّاَدْخَلَهُ اللهُ هذَا الدِِّيْنَ , بِعِزِّعَزِيْزٍ , اَوْبِذُلِّ ذَلِيْلٍ , عِزًّايُعِزُّاللهُ بِهِ أَلاِسْلاَمَ , وَذُلاَّيُذِلُّ بِهِ الْكُفْرَ ,,“Sungguh agama Islam ini akan sampai ke bumi yang dilalui oleh malam dan siang. Allah tidak akan melewatkan seluruh kota dan pelosok desa, kecuali memasukkan agama ini ke daerah itu, dengan memuliakan yang mulia dan merendahkan yang hina. Yakni memuliakan dengan Islam dan merendahkannya dengan kekufuran”.Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok Imam yang telah saya sebutkan di dalam kitab At-Tahdzir hal. 121. Sementara Imam Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya 1631, 1632. Sedang Imam Abu Arubah meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muntaqa minat-Thabaqat 2/10/1.Tidak diragukan lagi bahwa tersebarnya agama Islam kembali kepada umat Islam sendiri. Oleh karena itu mereka harus memiliki kekuatan moral, material dan persenjataan hingga mampu melawan dan mengalahkan kekuatan orang-orang kafir dan orang-orang durhaka. Inilah yang dijanjikan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa اَلثَّ لِثُ عَنْ اَبِى قُبَيْلٍ قَلَ كُنَّاعِنْدَ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرِوبْنِ العَاصِيْ , وَسُءِل اَيُّ اْلمَدِيْنَتَيْنِ تُفْتَحُ اَوَّلاً ؟ اَلْقُسْطَنُطِيْنِيَّةُ اَوْرُوْمِيَّةُ ؟ فَدَعَا عَبْدُاللهِ بِصُنْدُوْقٍ لَهُ خَلْقٌ , قَالَ فَاَخْرَجَ مِنْهُ كِتَابًا , قَالَ فَقَالَ عَبْدُالله بَيْنَمَانَحْنُ حَوْلَ رَسُ الِلّّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,, مَدِيْنَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ اَوَّلً , يَعْنِى قُسْطَنْطِنِيَّةَ ,,“Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Qubai. Ia menuturkan “Pada suatu ketika kami bersama Abdullah Ibnu Amer Ibnu Al-Ash. Dia ditanya tentang mana yang akan terkalahkan lebih dahulu, antara dua negeri. Konstantinopel atau Rumawi. Kemudian ia meminta petinya yang sudah agak lusuh. Lalu ia mengeluarkan sebuah kitab.” Abu Qubail melanjutkan kisahnya Lalu Abdullah menceritakan [1] “Suatu ketika, kami sedang menulis di sisi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Tiba-tiba beliau ditanya “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Rumawi ?. ” Beliau menjawab “Kota Heraclius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu”. Maksudnya adalah Konstantinopel”.Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad II/176, Ad-Darimi I/126, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Muhson II/47, 153, Abu Amer Ad-Dani di dalam As-Sunanul Waridah fil-Fitan hadits-hadits tentang fitnah, Al-Hakim III/422 dan IV/508 dan Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam Kitabul Ilmi II/30. Abdul Ghani bahwa hadits ini hasan sanadnya. Sedangkan Imam Hakim menilainya sebagai hadits shahih. Penilaian Al-Hakim itu juga disetujui oleh Imam Rumiyyah dalam hadits di atas maksudnya adalah Roma, ibu kota Italia sekarang ini, sebagaimana bisa kita lihat di dalam Mu’jamul Buldan Ensiklopedi Negara.Sebagaiman kita ketahui, bahwa kemenangan pertama ada di tangan Muhammad Al-Fatih Al-Utsmani. Hal itu terjadi lebih dari delapan ratus tahun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyabdakan hadits di atas. Kemenangan keduapun akan segera terwujud atas seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana نَبَأهُ بَعْدَ حِيْنٍ“Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui kebenaran berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi”. [Shaad/38 88]Tidak diragukan lagi bahwa kemenangan kedua mendorong adanya kebutuhan terhadap Khalifah yang tangguh. Hal inilah yang telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melalui اَلرَّبِعْ ,, تَكُوْنُ النُّبُوَّ ةُ فَيَكُوْنُ مَاشَااللّه اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَااللّهُ اَذَشَاءَاَنْ يَرْفَعُهَا , ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مَنْهَاجِ النُّبُوَّ ةِ , فَ تَكُوْنُ مَاشَااللّهُ اَنْ تَكثوْنُ , ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَاشَاءَاَنْ يَرْفَعُهَا . ثُمَّ تَكُوْنُ مَلِكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَاشَاءَاللّهُ اَنْ تَكُوْنَ , ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَشَاءَاللّهُ اَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مَنْهَاجِ نُّبُوَّةِ , ثُمَّ سْكَتَ“Kenabian telah terwujud di antara kamu sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Dia akan menghilangkannya sesuai dengan kehendak-Nya, setelah itu ada Khilafah yang sesuai dengan kenabian tersebut, sesuai dengan kehendak-Nya pula. Kemudian Dia akan menghapusnya juga sesuai dengan kehendak-Nya. lalu ada Raja yang gigih berpegang teguh dalam memperjuangkan Islam, sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu ada seorang Raja diktator bertangan besi, dan semua berjalan sesuai dengan kehendak-Nya pula. Lalu Dia akan menghapusnya jika menghendaki untuk menghapusnya. Kemudian ada Khilafah yang sesuai dengan tuntunan Nabi. Lalu Dia diam”.Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad IV/273. Kami mendapatkan riwayat dari Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi, juga dari Dawud bin Ibrahim Al-Wasithi, Hubaib bin Salim, dan Nu’man bin Basyir yang mengisahkan, “kami sedang duduk di masjid. Basyir adalah seorang yang sering menyembunyikan haditsnya. Lalu datanglah Abu Tsa’labah Al-Khasyafi dan bertanya Wahai Basyir bin Sa’id, apakah engkau menghafal hadits Rasul tentang Umara ? Tetapi kemudian, Khudzaifahlah yang justru menjawab “Saya menghafal khutbahnya”.Mendengar itu kemudian Abu Tsa’labah duduk, sementara Khudzaifah selanjutnya meriwayatkan hadits itu secara marfu’.Hubaib mengomentarai dengan menceritakan “Tatkala Umar bin Abdul Aziz mulai tampil dan saya mengetahui bahwa Yazid bin Nu’am bin Basyir menjadi pengikutnya, maka saya menulis surat kepadanya, berisikan tentang hadist ini. Saya memperingatkan dengan mengatakan kepadanya Saya berharap agar beliau Umar bin Abdul Aziz benar-benar bisa menjadi Amirul Mu’minin setelah adanya raja yang gigih memperjuangkan agama sebelum dia naik tahta. Lalu surat saya itu disampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz. Dia merasa gembira dan sanad Ahmad, hadist itu juga dirwayatkan oleh Al-Hafidzh Al-Iraqi di dalam Mahajjatul-Ghurab ila Mahabbatil-Arab II/17. Selanjutnya Al-Hafidz mengatakan “Status hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud Al-Wasithi dinilai tsiqah baik akhlaknya dan kuat ingatannya oleh Abu Dawud, Ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Sedangkan perawi-perawi yang lain bisa dibuat hujjah di dalam menetapkan hadits shahih”.Yang dimaksud Al-Hafidzh ini adalah yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim, tetapi mengenai Hubaib oleh Al-Bukhari dinilainya dengan “fihi nadharun” ungkapan yang menunjukkan masih diragukannya keabsahan seorang perawi. Sedanglan Ibnu Addi mengatakan Dalam matan hadits yang diriwayatkannya Hubaib tidak terdapat hadits munkar hadits yang ditolak, tetapi ia telah memutarbalik sanadnya mudhtharib. Akan tetapi Abu Hatim, Abu Dawud dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Oleh karena itu, setidak-tidaknya nilai haditsnya adalah hasan. Bahkan Al-Hafidzh menialinya La ba’sa bihi Lafazh ta’dil tingkat ke empat. Perawi yang dinilai dengan lafazh pada tingkat ini haditsnya bisa dipakai, tetapi harus dilihat kesesuainya dengan perawi-perawi lain yang dhabit kuat ingatannya, sebab lafazh itu tidak menunjukkan ke-dhabit-an seorang perawi. penerjemah.Hadits yang senada Asy-Syahid disebutkan di dalam musnad karya Ath-Thayalis Nomor 438 “Saya diberi riwayat oleh Dawud Al-Wasithi -ia adalah orang yang tsiqah-, ia menceritakan “Saya mendengar hadits itu dari Hubaib bin Salim. Tetapi dalam matan hadits tersebut ada yang tercecer matannya. Tapi kemudian ditutup dilengkapi dengan hadits dari Musnad di dalam kitabnya Al-Majma’ V/189 menjelaskan “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sedangkan Al-Bazzar juga meriwayatkan, namun lebih sempurna lagi. Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkan sebagian dalam kitabnya Al-Ausath dan perawi-perawinya adalah tsiqah”.Dengan demikian menurut saya, kecil sekali kemungkinannya hadits tersebut diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz, sebab masa pemerintahannya adalah setelah masa Khulafaur Rasyidin, yang jaraknya setelah dua masa pemerintahan dua orang raja. [2].Selanjutnya hadits yang berisi tentang berita gembira dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengenai kembalinya kekuasaan kepada kaum Muslimin dan tersebarnya pemeluk Islam di seluruh penjuru dunia hingga dapat membantu tercapainya tujuan Islam dan menciptakan masa depan yang prospektif dan membanggakan hingga meliputi bidang ekonomi dan pertahanan. Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa اَلْخَامِسُ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتّى تَعُوْدَاَرْضُ الْعَرَبِ مُرَقَ جًا وَاَنْهَارًا“Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum tanah Arab menjadi tanah lapang yang banyak menghasilkan komoditas penting dan memiliki pengairan yang memadai”.Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim 3/84, Imam Ahmad 2/703, 417, dan Imam Hakim 4/477, dari hadits Abu gembira itu mulai terealisasi di beberapa kawasan Arab yang telah diberi karunia oleh Allah berupa alat-alat untuk menggali sumber air di dalam gurun pasir. Di sana bisa kita lihat adanya inisiatif untuk mengalirkan air dari sungai Eufrat ke Jazirah Arab. Saya membaca berita ini dari beberapa surat kabar lokal. Hal itu mungkin akan menjadi kenyataan. Dan selang beberapa waktu kelak, akan benar-benar terwujud dan bisa kita yang perlu diketahui dalam hubungannya dengan masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ“Tidak akan datang kepadamu suatu masa, kecuali masa sesudahnya akan lebih buruk, sampai kalian bertemu dengan Tuhanmu, yakni datangnya kiamat”.Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al-Fitan, dari hadits Anas, secara marfu’.Hadits ini selayaknya dipahami dengan membandingkan hadits-hadits lain yang terdahulu dan hadits lain yang ada hubungannya. Seperti halnya hadits-hadits tentang Al-Mahdi dan turunnya Nabi Isa Alaihis sallam. Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa hadits ini tidak mempunyai arti secara umum, tetapi mempunyai arti khusus sempit. Oleh karena itu, kita tidak boleh memahaminya secara umum apa adanya, sehingga menimbulkan keputusasaan yang merupakan sifat yang harus dibuang jauh dari orang mukmin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ اذْهَبُؤا فَتَحَسَّسُؤا مِنْ يُؤسُفَ وَأخِيْهِ وَلاَتَايْءَسُؤا مِنْ رَّؤحِ اللّهِ إنَّهُ لاَ يَايْءَسُؤا مَنْ رَّؤحِ اللّهِ إلاَّ الْقَؤمُ الْكَافِرُؤنَ“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya, dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. [Yusuf/12 87].Saya senantiasa memohon ke haribaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Dia berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang benar-benar mukmin.[Disalin dari buku Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 17-24, terbitan CV Pustaka Mantiq, penerjemah Nur] _______ Footnote [1] Perkataan Abdullah ini juga diriwayatkan oleh Abu Zur’ah di dalam bukunya Tarikhu Damsyiq Sejarah Damaskus I/96. Di situ juga ditunjukkan bahwa hadits tersebut juga ditulis pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam [2] Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitabnya Al-Ausath yang bersumber dari Mua’adz bin Jabal secara marfu’ adalah dha’if. Bunyinya adalah “Tiga puluh kenabian dan satu orang raja, dan tiga puluh raja dan satu Jaburut raja bertangan besi sedangkan setelah itu tidak ada kebaikan sama sekali”.
Namundalam Islam, kita diperintahkan selalu mempersiapkan hari esok. Esok berarti masa depan. Esok, jika waktunya tiba, adalah juga hari kemudian. (Dark Ages) yang bermula di sekitar abad V, Dunia Islam ternyata mengalami era keemasan (Golden Age) yang jejaknya menginspirasi peradaban dunia, hingga hari ini. Mulai dari penemuan angka 0
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Perkembangan Ekonomi Islam baik di Indonesia maupun seluruh dunia secara luas telah mempunyai peluang yang sangat besar. Penganut agama Islam di seluruh dunia mencapai 1,8 Miliar dan banyak negara dengan mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Diluar potensi dari sisi pemeluk agama Islam, ekonomi dan keuangan Islam saat ini tengah mengalami perkembangan yang pesat. Selain itu banyak juga perusahaan-perusahaan yang menerapkan aspek-aspek syariah dalam operasionalnya. Namun apakah potensi ini tetap menjadi potensi? Apakah yakin perkembangan ekonomi Islam saat ini akan terus berlanjut? Ahmed El-Ashker dan Rodney Wilson dalam bukunya Islamic Economic A Short History menyebutkan ada 4 syarat keberhasilan ekonomi Islam yaitu tingkat kepatuhan terhadap norma dan cita-cita Islam; negara Islam yang kuat secara politik; kurangnya permusuhan dari mesin politik terhadap Islam secara internal dan secara eksternal; kemampuan Islam beradaptasi terhadap perubahan baru dalam masyarakat secara teknologi dan lainnya; dan menjadi penyelesai masalah-masalah ekonomi saat ini berdasarkan pemikiran Ekonomi pertanyaan selanjutnya sudahkan Ekonomi Islam saat ini telah memenuhi syarat tersebut? Di Indonesia sendiri ekonomi Islam saat ini tengah berupaya untuk berjaya di masa depan. Sudah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan yang berlabelkan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah, dan lain-lain. Namun dalam prakteknya saat ini, cita-cita Islam dalam lembaga tersebut kurang nampak, misalnya produk pembiayaan murabahah yang notabennya menggunakan margin lebih banyak digunakan daripada produk mudhorobah yang menjadi ciri khas ekonomi Islam. Hal tersebut karena mayoritas nasabah bank syariah adalah perorangan sehingga aset yang mengalir ke bank syariah juga tidak seberapa jika dibandingkan bank yang mempunyai banyak nasabah korporasi. Namun cita-cita Islam tidak hanya dihitung dari berapa banyak aset bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya, tapi kepatuhan norma dan cita-cita Islam dapat dilihat dari bagaiman pihak-pihak yang memutuskan memilih syariah mengimplementasikan pilihannya pada kehidupan sehari-hari tidak hanya dalam hal memilih bank nya Indonesia telah membentuk lembaga untuk mendukung ekonomi Islam seperti DSN-MUI yang mengatur Dewan Pengawas Syariah DPS yang menjadi pondasi berlakuknya prinsip syariah dalam LPS,LKS, dan LBS. Studi ekonomi Islam juga banyak bermunculan di Indonesia. Saat ini juga banyak universitas baik negri maupun swasta yang memiliki program studi Ekonomi Islam, forum-forum yang membahas ekonomi Islam secara nasional dan internasional juga banyak dilakukan. Namun, ada kritikan dari Sardar 1985 penulis saat ini banyak menggunakan "prespektif Islam" dalam tulisannya, misalnya perbankan dalam prespektif Islam. jika hal tersebut terus berlanjut, maka ekonomi Islam hanya akan menjadi alternatif lain dari ilmu ekonomi. Denagn peluang dan kesempatan diatas masa depan ekonomi Islam berada ditangan generasi saat ini. Penerus ini mempunyai tugas-tugas yang harus diselesaikan agar masa depan ekonomi Islam cerah, seperti peningkatan literasi dan kesadaran masyarakat akan ekonomi Islam, studi-studi ekonomi islam yang sesuai perkembangan zaman dan teknologi saat ini. Selain itu pejuang-pejuang yang siap memperjuangkan ekonomi Islam sudah harus banyak bertebaran pada sektor-sektor perekonomian, pemerintahan, dan bidang lain. Negara manakah yang akan terlintas dalam pikiran kita saat bicarakan Ekonomi Islam? Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Ketikabuku Masa Depan Dunia terbit, 1 saya memandang bahwa perlu pengkajian secara khusus untuk memperkenalkan studi Masa Depan kepada PTKIN di seluruh Indonesia. Arah dan masa depan studi Islam tentu tidak dapat diabaikan dengan perkembangan mutakhir yang terjadi di dunia saat ini. Hal ini disebab bahan
JAKARTA - "Apa yang akan terjadi pada pekerjaanku? Apa yang akan terjadi dengan uang saya? Apa yang akan dilakukan anak saya? Apakah dia akan memberontak? Apa yang akan dilakukan anak saya?" Dilansir di About Islam, Senin 22/6, kita begitu khawatir dengan hal-hal kecil ini sehingga kita lupa Allah mengendalikan masa depan dan Dia memilikinya. Sebenarnya, setan ingin agar kita khawatir tentang masa depan dan terus khawatir. Kita terus mengkhawatirkan orang lain tentang apa yang akan mereka lakukan dan bagaimana mereka akan merasa seperti dalam kendali mereka. Kita nyaris tidak bisa mengendalikan diri kita sendiri, tetapi kita pikir kita bisa mengendalikan apa yang akan dilakukan oleh orang lain di sekitar kita dan bagaimana masa depan mereka nantinya dan kita ingin mengendalikan masa depan mereka . Anda memiliki seorang ibu yang setiap hari bertanya, “Mengapa putri saya tidak punya bayi? Kapan dia akan punya bayi?" Kita sepenuhnya mengikuti keinginan setan. Itu bisa menjadi hal yang paling tidak bersalah, tetapi setan ingin kita menjadi seperti itu karena ketika kita melakukan itu maka kita tidak senang dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita. Kita dengan mudah lupa orang yang bertanggung jawab adalah Allah dan orang yang mengendalikan semua orang adalah Allah. Kita sebenarnya tidak bertanggung jawab atas anak-anak kita. Begitu mereka mencapai usia tertentu, apa yang mereka lakukan adalah antara mereka dan Allah. Yang bisa kita lakukan adalah memberi mereka nasihat, tetapi keputusan mereka akan menjadi milik mereka. Nabi Muhammad SAW berkata ke anak perempuannya tercinta dan berkata "Fatimah, putri Muhammad pemikirannya adalah milik Allah karena aku tidak dapat mengendalikan dia ketika berada di hadapan-Nya." Itulah yang dikatakan Nabi Muhammad kepada putrinya sendiri, jadi bagaimana kita memiliki kendali atas orang lain, bahkan di dalam keluarga kita sendiri? Allah ingin kita berpikir kita bertanggung jawab dan itu sebenarnya sesuatu yang hanya berhak Allah lakukan. Dan itu menghabiskan pikiran kita dengannya ketika mencoba untuk mengendalikan orang, itu menjadi bumerang, itu tidak pernah berhasil. Kita tidak pernah bisa mengendalikan orang. Ketika kita tidak bisa mengendalikan orang, kita menjadi semakin cemas, kita berpikir negatif terus-menerus dan ketika kita menjadi negatif terus-menerus, tidak mungkin bagi kita untuk bersyukur. … Dan Anda tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka bersyukur [kepada Anda]. Alquran Al araf ayat 17. Mereka tidak bersyukur karena mereka akan berpikir negatif setiap saat, mereka akan cemas tentang masa depan sepanjang waktu. Ini adalah salah satu trik setan untuk membuat kita bingung bahwa kita ada hubungannya dengan masa depan dan membuat kita pesimis tentang masa depan. Tidak ada yang akan berhasil, itu semua akan menjadi buruk. Ketika kita menjadi sangat negatif dan kemudian menular. Jadi, jika kita pesimistis, bagaimana kita bisa memiliki harapan pada Allah? Bagaimana kita bisa memiliki rasa pesimis dan kepercayaan pada Allah dalam satu waktu? Dengan hati apa kita berdoa kepada Allah jika kita telah menerima kekalahan di dalam diri? Dengan demikian kita memutuskan hubungan paling penting yang kita miliki dengan Allah, yang meminta dan berharap kepada-Nya. Setan tidak memiliki harapan dan dia ingin kita tidak memiliki harapan. Ini adalah serangannya dari depan.
PeranIslam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram Investasi dan reinvestasi yang berlangsung secara besar-besaran yang akan semakin meningkatkan produktivitas dunia ekonomi. Di masa depan, dampak perkembangan teknologi di dunia industri akan semakin penting.
Sebuah penelitian oleh Pew Research Centre 2015 silam mencatat Islam sebagai agama dengan tingkat pertumbuhan populasi tertinggi di dunia. Secara umum pemeluk agama Samawi masih mendominasi pada picture alliance /Godong/Robert Harding
Dalampandangan Ziauddin Sardar, "masa depan umat Islam bergantung pada diri mereka sendiri". Secara lebih spesifik dan terfokus, Sardar mengaitkan masalah masa depan peradaban Islam dengan cara pandang umat Islam. Menurutnya, ada kesalah-pahaman mendasar yang dilakukan oleh kebanyakan umat Islam, terutama terkait dalam hal pemahaman nilai
- Pikiran manusia kerap dipenuhi dengan bayangan-bayangan di masa depan. Namun terlalu memikirkan masa depan, sama seperti membeli furnitur untuk rumah yang bahkan belum dibangun. Ketika furnitur tersebut berada di tangan, kita tidak punya tempat untuk meletakkannya. Akibatnya, barang-barang itu akan memadati hidup di masa sekarang. Dengan kata lain, terlalu memikirkan masa depan sama artinya dengan mengisi hari-hari dengan pikiran, perhatian, antisipasi, dan kecemasan yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Dalam sebuah artikel yang diunggah di About Islam, manusia kerap terburu-buru menuju masa depan demi sesuatu yang disebut sebagai kebaikan. Saat masih anak-anak, tidak sedikit yang ingin cepat besar sehingga bisa bermain dengan teman-teman lain yang lebih saat remaja, kita tidak bisa menunggu untuk menjadi dewasa dan bebas dari batasan orang tua. Nantinya saat dewasa, manusia sudah bermimpi tentang masa pensiun ketika akhirnya dapat menikmati semua waktu luang yang ada. Manusia kerap memiliki kecenderungan bergegas ke masa depan demi kebaikan yang dirasa ada di sana. Tetapi tidak ada yang bisa menjamin hari esok. Tidak ada jaminan apa pun darinya. Ketika kita menaruh terlalu banyak harapan di hari esok, hal ini berisiko membawa hasil yang berbahaya. Manusia akan mulai merasa berhak atas masa depan tertentu yang mungkin tidak pernah masa depan yang diharapkan itu tidak terjadi, manusia bisa menjadi sangat emosional dan sengit. Lebih parah, manusia bisa kehilangan momen menikmati berkah yang didapat di momen saat ini. Allah SWT telah memberi tahu tentang itu dalam Alquran dengan sangat jelas. Dalam QS An-Nahl ayat 1, Allah SWT berfirman, "Ketetapan Allah pasti datang, maka janganlah kamu meminta agar dipercepat datangnya. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan".Ayat ini mengingatkan tentang sifat Hari Akhir yang tidak diketahui, tetapi juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang akan telah diatur akan datang pada saatnya. Manusia diminta untuk sabar hingga saatnya harus menjalani hidup dengan berpikir dan berharap untuk masa depan, hal ini dapat dilakukan dengan mengingat kita akan menerima yang baik di kehidupan selanjutnya, untuk kebaikan yang kita lakukan dalam kehidupan kita hanya bisa bertemu dengan kesenangan di akhirat dengan mengambil tindakan di masa sekarang. Jadi mari berharap untuk rahmat Allah dan menyerahkan masa depan kehidupan ini kepada kehendak Allah. Alasan lain seorang manusia memikirkan masa depan karena memikirkan kemungkinan kejahatan yang bisa saja terjadi. Sebagai manusia, kita sering menghabiskan banyak waktu mengkhawatirkan hal-hal buruk apa yang akan terjadi di masih anak-anak, kita khawatir tentang waktu tidur dan monster yang mungkin menunggu kita dalam gelap. Sebagai remaja, muncul kekhawatiran akan pekerjaan dan pernikahan. Setelah dewasa, terpikirkan hal-hal seperti kemiskinan, penyakit, dan yang tentang masa depan adalah sesuatu yang hampir semua orang lakukan. Namun tidak peduli berapa banyak asuransi yang dibeli dengan tujuan melindungi diri dari apa yang akan datang, manusia tidak dapat mengubah kehendak Allah SWT untuk masa Muhammad SAW juga tidak bisa mengetahui masa depannya atau mengubahnya. Allah SWT berfirman dalam Alquran QS Al-A'raf ayat 188, "Katakanlah hai Muhammad, "aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".Di balik kekhawatiran-kekhawatiran itu, seharusnya manusia memahami jika setan kerap memanfaatkannya. Seperti Nabi Muhammad, umat-Nya juga tidak memiliki kuasa atas apa yang terjadi di masa depan. Ketika manusia membebani pikirannya tentang hari esok, bisa jadi manusia menjadi mangsa salah satu trik SWT memberi tahu dalam Alquran QS Al-Baqarah ayat 268, "Syaitan menjanjikan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan kikir; sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengatahui". Seringkali, cara ini adalah trik yang efektif. Berapa banyak yang telah melakukan perbuatan haram karena takut akan kemiskinan, sementara ketakutan itu sama artinya dengan kehilangan kesempatan untuk percaya kepada Allah SWT? Berapa banyak manusia yang menjadi kikir karena mereka takut akan malapetaka, sementara pikiran itu menghilangkan kesempatan untuk Allah SWT ganti berkali-kali karena telah berbagi dalam amal? Berapa banyak yang menjadi frustrasi dan kecewa dengan mencoba memaksakan hasil di masa depan yang tidak tertulis, sementara kehilangan berkat saat ini? Kekhawatiran yang ada pada manusia sama saja dengan meremehkan kebijaksanaan dan kemampuan Allah SWT untuk menyediakan masa depan. Jika umat Muslim harus khawatir tentang masa depan, Hari Penghakiman adalah satu-satunya masa depan yang kita tahu pasti dan layak untuk dicemaskan. Manusia bisa berusaha mencegah hasil yang buruk dengan mengambil tindakan saat ini. Takutlah akan hukuman Allah dan tinggalkan urusan masa depan kehidupan sesuai atas kehendak Allah SWT. Yang bisa manusia lakukan saat ini hanyalah bersiap dan biarkan mengalir seperti yang telah ditetapkan. Namun, bukan berarti pula menusia berpasrah tanpa berusaha. Berusaha mencari cara adalah bagian dari kehidupan. Seperti yang kita lihat dalam hadits riwayat Tirmidzi berikut "Suatu hari Nabi Muhammad melihat seorang Badui meninggalkan untanya tanpa mengikatnya. Nabi lantas bertanya kepada orang Badui itu 'Mengapa kamu tidak mengikat unta kamu?' Orang Badui itu menjawab 'Saya menaruh kepercayaan pada Allah'. Nabi kemudian berkata Ikatkan unta Anda terlebih dahulu, kemudian taruh kepercayaan Anda kepada Allah". Dalam hidup, manusia harus mencari cara memudahkan kehidupan. Meninggalkan masa depan bukan berarti tidak melindungi diri sendiri dari bahaya kehilangan milik kita. Ketika manusia menyibukkan pikiran dengan masa depan, terkadang membuat kita melupakan kebijaksanaan dan kemampuan tertinggi Allah SWT. Manusia jadi merindukan berkah masa kini; membuang-buang waktu, dan kehilangan kesempatan mempersiapkan akhirat. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
QuoVadis pendidikan menjadi tuntutan dan sekaligus tuntunan yang diharapkan dalam menentukan masa depan pendidikan bangsa. Keterpaparan dalam ketertinggalan, ketidaktahuan serta gagap teknologi merupakan problematika tersendiri dalam dunia pendidikan, di tambah lagi adanya gagal paham dalam memahami agama dan nasionalisme. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan agama Islam (PAI
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1995 ________, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1996 ________, Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer, Yogyakarta IB Pustaka, 2020 Ahmed, Akbar S., “Ibn Khaldun’s Understanding of Civilization and the Dilemmas of Islam and West Today,” The Middle East Journal, Vol. 56, No. 1. Winter, 2002 Amin, Samir, “The Future of Global Polarization,” dalam Johannes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh ed.. Ashroft, Bill, Post-Colonial Transformation, London Routledge, 2001 Bagghi, Kumar, “Globalisation India a Critique an Agenda for Financiers and Speculators,”; Kwan-Yeon Shin, “Globalisation and Class Politic in South Korea,” dalam Johannes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh ed., Globalisation and Social Change, 119-178. Birch, Anthony H., The Concepts and Theories on Modern Democracy, London Routledge, 2001 Bustaman-Ahmad, Kamaruzzaman, “Hubungan Agama dan Negara Pengalaman Indonesia Bahagian Pertama, PEMIKIR Membangun Minda Berwawasan, No. 30, Oktober-Desember 2002 ________, Satu Dasa Warsa the Clash of Civilizations Membongkar Politik Amerika di Pentas Dunia, Yogyakarta Ar-Ruzz, 2003. Carter, April, The Political Theory of Global Citizenship, London Routledge, 2001. Esposito, John L., “Clash of Civilization? Contemporary Images of Islam in the West,” dalam Gema Martin Munoz ed., Islam, Modernism and the West Cultural and Political Relations at the End of the Millenium, New York Tauris, 1999, 94-108. Fakih, Mansour, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta Pustaka Pelajar dan INSIST, 2001 Fukuyama, Francis, The Great Disruption Human Nature and the Reconstruction of Social Order, New York The Free Press, 1999 Golzani, Mehdi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung Mizan, 2003 Guiderdoni, Bruno, “How Did the Universe Begin? Cosmology and Methaphysics for the XXIst Century,” Makalah disampaikan dalam International Conference of Religion & Science in the Post-Colonial World,” Yogyakarta, 2-5 Januari 2003 Hafez, Kai, “Islam and the West The Clash of Politicised Perceptions,” dalam Kai Hafez ed., The Islamic World and the West An Introduction to Political Cultures and International Relations, Leiden Brill, 2000 Harvey, David, “Globalisation in Question,” dalam Johannes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh ed. “Introduction Globalisation or the Coming of Age of Capitalism,” dalam Johanes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh ed., Globalisation and Social Change, London and New York Routledge, 2000 Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik,Jakarta Paramadina, 1996. ________, “Hermeneutical Problems of Religiuos Language,” Al-Jami’ah, No. 65 2000 Hittleman, James H., “The Future of Globalisation” makalah dalam The Pok Rafaeh Chair Public Lecture, Institut Kajian Malaysia dan Antarbangsa, Universiti Kebangsaan Malaysia, 10 Agustus 1999. Hittleman, James H., dan Othman, Norani ed., Capturing Globalisation, New York Routledge, 2001, 1-16. Diakses 30 Juni 2021, Huntington, Samuel P., The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, New York Touchstone Books, 1998 Ismail, Mohammad Saleh, “IT Usage Challenges and Opportunies in Globalisation”, Symbiosis Technology Park Malaysia, October 2001 Jaaffar, Johan, “Cabaran Media Hari ini Antara Kebenaran dan Wibawa Moral,” PEMIKIR, Oktober-Desember 2000 159-206. Jenie, Umar A., “Relation Between Islamic Ulamas and Scientist From Conflict to Dialogue,” Makalah disampaikan dalam International Conference of Religion & Science in the Post-Colonial World,” Yogyakarta, 2-5 Januari 2003 Kung, Hans, Etika Ekonomi-Politik Global Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta Qalam, 2002 Leksono-Supelli, Karlina, “Cosmology and the Quest for Meaning,” Makalah disampaikan dalam International Conference of Religion & Science in the Post-Colonial World,” Yogyakarta, 2-5 Januari 2003. Levine, Mark, “Muslims Responses to Globalisation”, ISIM Newsletter, No. 10 2002 Lubeck, Paul M., “The Islamic Revival Antinomies of Islamic Movements Under Globalization,” dalam Robin Cohen dan Shirin M. Rai ed., Global Social Movements, New Jersey The Athlone Press, 2000 Maarif, A. Syafii, “Dunia Sedang Memasuki Era Baru Internasionalisme Amerika,” Panjimas, September 2003 Mahrus, “Kontroversi Produk Rekayasa Genetika yang Dikonsumsi Masyarakat,” Jurnal Biologi Tropis, Vol. 14 No. 2 Juli, 2014 108-119. Malik, Ghulam Farid, “Efforts of the Moslem Communities to Apply the Qur’anic Values towards World Peace A Historical Perspective,” dalam Azhar Arsyad, Jawahir Thontowi, dan M. Habib Chirzin ed., Islam & Perdamain Global, Yogyakarta Madyan Press, The Asia Foundation dan IAIN Alauddin Makassar, 2002 Martin, Richard C. ed., Approaches to Islam in Religious Studies, Arizona The University of Arizona Press, 1985; Taufik Abdullah dan M. Ruslim Karim ed., Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta Tiara Wacana, 1989. Masud, Muhammad Khalid ed., Travellers in Faith Studies of the Tablighi Jama’at as a Transnational Islamic Movement for Faith Renewal, Leiden Brill. 2000. McMichael, Philip, “States and Governance in the Era of Globalisation,” dalam Johannes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh ed.. “Introduction Globalisation or the Coming of Age of Capitalism,” dalam Johanes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh ed., Globalisation and Social Change, London and New York Routledge, 2000. Meuleman, Johan Hendrik, “Tradition and Renewal with Islamic Studies in South-East Asia The Case of the Indonesian IAINs” in Islamic Studies in ASEAN – Presentations of an International Seminar College of Islamic Studies, Prince of Songkhla University, Pattani, 2000, 283-99 Mohamad, Mahathir, The Issue and Challenges in the 21st Century,” Symbiosis Technology Park Malaysia, Oktober 2001 ________, Globalisation and the New Realities, Selangor Pelanduk, 2002 Mohammed Abed al-Jabiri, “Contemporary Arab Views on Globalisation” dalam Muniron, “Pandangan Al-Ghazali tentang Ittihad dan Hulul” Paramadina, Vol. 1, No. 2 1999 Murata, Sachiko, “Pengalaman Saya Mengajar Islam di Barat,” Ulumul Qur’an, Vol. V, No. 2 1994 Pasiak, Taufiq, Tuhan dalam Otak Manusia Mewujudkan Kesehatan Spiritual Berdasarkan Neurosains, Bandung Mizan, 2012 Prasetyo, Hendro, dan Munhanif, Ali, dkk., Islam dan Civil Society Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta Gramedia dan PPIM IAIN Jakarta, 2002. Rakhmat, Jalaluddin, “Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefenisikan,” Paramadina, Vol. 1, No. 1 1989 Rizvi, Fazal, “Debating Globalization and Education After September 11”, Comparative Education, Vol. 40, No. 2, Special Issue 28 Postcolonialism andComparative Education May, 2004 157-171 Rochmat, Saefur, “Studi Islam di Indonesia Era Millenium Ketiga,” Millah Jurnal Studi Agama, Vol. 2, No. 1 2002 37-49. Rundell, Michael, ed., Macmillan English Dictionary for Advanced Learners, Oxford Bloomsbury Publishing, 2002 Russel, Robert J., “Theology and Science Current Issues and Future Directions,” hhtp// Diakses 29 Juni 2021. Schmidt, Johannes Dragsbaek, dan Hersh, Jacques, “introduction Globalisation or the Coming of Age of Capitalism,” dalam Johanes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh ed., Globalisation and Social Change, London and New York Routledge, 2000 The Freedom House Survey Team, “Freedom in World 2002 The Democracy Gap,” Diakses 30 Juni 2021. Thiselton, Anthony C., New Horizons in Hermeneutics, Michigan Zondervan Publishing House, 1992. Voll, John O., “Islamic Studies after Orientalism and Area Studies”, dalam Isma-ae Alee ed., Islamic Studies in Asean Presentation of an International Seminar, Thailand College of Islamic Studies Prince of Songkla University, 2000 Waardemburg, Jacques, “The Language of Religions and the Study of Religion as Sign System?,” ini Lauri Honko ed., Science of Religion Studies in Methodology, Paris Mouton Publishers, 1979 Yasuda, Nobuyuki, “Law and Development in ASEN Countries,” ASEN Economic Bulletin, November 1993 459-469. Yavari, Neguin, “Muslim Communities in New York City,” ISIM Newsletter, No. 10 2002 Yemelianva, Galina, “Islam and Power in Post-Communist Islam Russia”, ISIM Newsletter, No. 10 2002
Karenaundang-undang dinegara sana melarang orang tua ikut campur dalam pemilihan agama si anak. Aku hanya bisa melihat dia menjadi seorang atheis tanpa bisa berbuat apa-apa. Jadi sekarang? Ya aku sudah mempunyai anak, seorang yang mengesakan tuhannya. Aku tidak peduli lagi dengan dunia eropa yang silau dan dunia yang kudapatkan disana.
Cara melihat masa depan – Masa depan setiap orang adalah rahasia Allah dan akan selalu menjadi misteri bagi manusia. Tidak ada seorang pun manusia yang dapat mengetahui masa depan dirinya maupun orang lain. Hal ini tampak dalam firman Allah. “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, serta mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok. Tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” QS. Luqman 34. Cara melihat masa depan sebenarnya dapat di lakukan dengan mudah karena masa depan kita adalah hasil dari apa yang kita lakukan hari ini. Hanya Allah saja yang mengetahui masa depan manusia, meliputi rezeki, jodoh, karier, maut, dan sebegainya. Untuk itu, bagi seorang muslim yang beriman, dirinya tidak akan memprediksi apa yang akan terjadi pada masa depannya. Apalagi melalui ramalan karena hal tersebut akan membuat dirinya terjatuh dalam dosa atau perbuatan musyrik. Dengan meyakini Allah Sang Maha Tahu Masa Depan maka Anda tidak perlu cemas dalam menghadapi masa depan. Karena sesungguhnya masa depan kita adalah apa yang kita lakukan hari ini. Yang bisa Anda lakukan saat ini adalah melihat masa depan dengan melakukan berbagai hal kebaikan. Hal ini bertujuan untuk menyiasati masa depan dengan selalu tawakal kepada Allah dan menyiapkan bekal kebaikan. Lalu, bagaimanakah cara melihat masa depan sesuai ajaran agama Islam? Baca juga 7 Langkah Kunci Kesuksesan Dalam Hidup Berikut ini beberapa cara melihat masa depan menurut Islam yang dapat Anda lakukan. Dengan melakukan berbabagi car di bawah ini, niscaya masa depan Anda akan tergambar jelas dan baik. Semoga bermanfaat. 1. Cara melihat masa depan dengan selalu meningkatkan keimanan “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman.” Qs. Ali Imron 139. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Qs. AlBaqarah 277. 2. Cara melihat masa depan dengan selalu bertaqwa kepada Allah “Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaika, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Qs. Al-An’am 48 “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat janji-janji Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” Qs. Yunus 62-64. Baca juga Mencari Ketenangan Hati dan Pikiran? Lakukan 6 Hal Ini, dan Temukan! 3. Cara melihat masa depan dengan selalu beristiqomah “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” Qs. Al-Ahqaf 13-14. 4. Cara melihat masa depan dengan selalu mengikuti petujuk Allah Kami berfirman “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” Qs. AlBaqarah 38. 5. Cara melihat masa depan dengan selalu bersikap ikhlas “Tidak demikian bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Qs. AlBaqarah 112. Baca juga 10 Ayat Alquran Tentang Ikhlas sebagai Tuntunan Hidup Kapsul Bioenergi 6. Cara melihat masa depan dengan selalu bekerja keras “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakanDan Katakanlah “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Qs. At-Taubah 105. Baca juga Kapsul Bioenergi Teknologi Spiritual Solusi Karir & Bisnis Demikian beberapa cara melihat masa depan yang dapat Anda lakukan menurut agama Islam. Dengan melakukan cara di atas, dijamin masa depan Anda akan selalu baik. Untuk itu, Anda tak perlu merasa cemas ataupun takut dalam menghadapi masa depan. Seiring melakukan berbagai hal di atas, Anda pun perlu meningkatkan kualitas diri dengan mengonsumsi Kapsul Bioenergi dari Bioenergi Center yang terbuat dari bahan herbal halal dan berkhasiat. Dengan mengonsumsi kapsul ini, diharapkan Anda dapat membuka aura atau energi positif dari dalam diri Anda sehingga setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan Anda akan selalu positif dan sesuai dengan kehendak Allah. Dengan begitu, hidup Anda akan menjadi lebih tenang dan bahagia. Baca juga Cara Mewujudkan Harapan Keinginan Dengan Mudah
Cariarti dan inspirasi rangkaian nama Dunia beserta artinya dalam bahasa Arab pada daftar berikut: Rangkaian Nama Dunia Sebagai Nama Depan [2-3-4 Kata] 1. Dunia Ulfa: nama bayi perempuan yang memiliki arti hidup bahagia serta bersahabat. Dunia: [1] Hidup [2] Kehidupan (Arab) Ulfa: Persahabatan (Islami) 2.
Pernahkah Anda membayangkan seperti apa masa depan manusia? Alkitab menjelaskan bahwa ada perubahan besar yang akan segera dialami semua orang di bumi. Yesus menyebutkan caranya kita bisa ”tahu bahwa Kerajaan Allah sudah dekat”. Lukas 2131 Dia menyebutkan berbagai hal yang akan terjadi, seperti perang besar, gempa bumi yang hebat, kekurangan makanan, dan wabah penyakit. Semua hal ini sudah kita lihat atau rasakan sekarang.—Lukas 2110-17. Selain itu, Alkitab mengatakan bahwa pada ”hari-hari terakhir” dari pemerintahan manusia, orang-orang akan semakin jahat. Anda bisa membaca keterangannya di 2 Timotius 31-5. Setelah Anda melihat sifat dan tindakan orang-orang sekarang, Anda pasti setuju bahwa apa yang Alkitab katakan itu memang benar. Apa arti semua hal itu? Itu artinya tidak lama lagi Kerajaan Allah akan membuat perubahan besar di bumi. Lukas 2136 Di Alkitab, Allah berjanji untuk membuat keadaan bumi dan kehidupan manusia menjadi lebih baik. Perhatikan beberapa contohnya. PEMERINTAHAN YANG TERBAIK ”[Yesus] diberi kekuasaan, kehormatan, dan kerajaan, agar semua orang dari berbagai bangsa dan bahasa melayani dia. Kekuasaannya adalah kekuasaan yang abadi, yang tidak akan berakhir, dan kerajaannya tidak akan musnah.”—DANIEL 714. Artinya Anda akan hidup di bawah pemerintahan terbaik yang akan menguasai seluruh bumi. Pemerintahan ini dipimpin oleh Yesus sebagai Raja yang dilantik oleh Allah. KESEHATAN YANG SEMPURNA ”Tidak seorang pun yang tinggal di situ akan berkata, ’Aku sakit.’”—YESAYA 3324. Artinya Anda tidak akan pernah sakit atau cacat. Anda akan hidup sehat selamanya. DAMAI DI SELURUH BUMI ”Dia menghentikan peperangan di seluruh bumi.”—MAZMUR 469. Artinya Perang akan lenyap sehingga manusia tidak menderita lagi akibat perang. HANYA ORANG BAIK YANG AKAN HIDUP DI BUMI ”Orang jahat tidak akan ada lagi . . . Orang-orang yang lembut hati akan memiliki bumi.”—MAZMUR 3710, 11. Artinya Hanya orang-orang yang mau menaati Allah yang akan hidup di bumi. BUMI AKAN MENJADI TEMPAT YANG INDAH ”Mereka akan membangun rumah dan tinggal di situ; mereka akan membuat kebun anggur dan makan buahnya.”—YESAYA 6521, 22. Artinya Allah akan membuat ’kehendak-Nya terjadi di bumi’ dengan mengubah seluruh bumi menjadi tempat yang indah.—Matius 610.
Karenanya masa depan harus dipikirkan dan direncanakan dengan baik, karena kita akan menghabiskan seluruh hidup kita disana.[3] 7 (tujuh) Ciri Pendidikan Masa Depan. 1. Berfokus pada pemupukan potensi unggul setiap anak. 2. Keseimbangan beragam kecerdasan (Kognitif, Emosi, dan Spiritual). 3.
Informasi Dasar Jenis katalog Buku - Circulation Dapat Dipinjam Abstraksi Dunia Islam memasuki musim yang pahit sejak Bush melancarkan kampanye perang melawan terorisme paksa peristiwa 11 September 2001. Dunia Islam seolah-olah identik dengan kejahatan Internasional. Invasi Iraq dan Afganistan pun mendapat dukungan Internasional. Sementara Dunia Islam banyak dicibir dan jadi guncingan diberbagai pelosok negara. Menghadapi sinisme Internasional tersebut Dunia Islam berusaha menemukan teman-teman baru yang diharapkan dapat memahami posisinya. Arab Saudi sebagai negara yang paling banyak dicaci maki oleh pendapat umum di Amerika melakukan serangkaian diplomasi untuk memulihkan citranya yang sempat luntur dimata Barat. Hubungan dengan Cina dan Rusia pun kemudian dijalin dan dalam waktu singkat Arab Saudi kembali menemukan jati dirinya. Ternyata kedua negara tersebut menemukan minyak mentahnya. Demikian pula Iran yang selalu dituduh akan mengembangkan senjata nukllir telah lebih dahulu menjalin hubungan dengan kedua negara tersebut. Dalam berjalannya waktu ternyata banyak negara yang tetap memandang dunia Islam sebagai mitra strategis selaku pemasok minyak mentah dan gas alam. Cina, Rusia, Jepang, dan Amerika sesungguhnya sulit mengabaikan Dunia Islam karena faktor sumber daya alam tersebut. Faktor minyak dan beberapa faktor lain menempatkan Dunia Islam pada posisi yang semakin strategis dalam hubungan Internasional saat ini dan dimasa yang akan datang. Subjek Katalog Judul Dunia Islam dan Masa Depan Hubungan Internasional di Abad 21 Sirkulasi Pengarang Penerbit Kompetensi SN112012 - PENDIDIKAN AGAMA Download / Flippingbook Ulasan Belum ada ulasan yang diberikan anda harus sign-in untuk memberikan ulasan ke katalog ini Kembali
Membahastentang sejarah Islam dan dunia Islam dalam garis waktu dan diterjemahkan dari Britannica India, dan Asia Timur. Nil-ke-Oxus, inti masa depan Islam, adalah yang paling tidak kohesif dan paling rumit. Sementara masing-masing wilayah lain mengembangkan satu bahasa budaya tinggi—Yunani, Sansekerta, dan Cina, masing-masing—wilayah
BOGOR – Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masa depan. “Masa depan sangat diperhatikan dalam Islam,” kata Guru Besar IPB, Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS, saat mengisi pengajian guru Sekolah Bosowa Bina Insani SBBI di Masjid Al Ikhlas Bosowa Bina Insani, Bogor, Jawa Barat, Jumat 12/10.Kiai Didin mengupas Alquran Surat Al Hasyr 59 ayat 18, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok akhirat, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”Kiai Didin juga mengutip sebuah hadis Rasulullah SAW yang menegaskan, “Didiklah anak-anakmu dengan sebaik mungkin, yang sesuai kebutuhan zamannya, sebab mereka akan hidup di zaman yang berbeda dengan zamanmu saat ini.”Melalui Surat Al Hasyr ayat 19, kata Kiai Didin, Allah menyuruh orang-orang beriman mempersiapkan hari esok dengan sebaik mungkin. “Masa depan itu tidak hanya di dunia, tidak kalah pentingnya adalah di akhirat. Masa depan itu harus direncanakan dengan baik. Masa depan harus kita desain dengan landasan iman dan takwa,” ujarnya. Mengambil semangat ayat Surat Al Hasyr ayat 19 dan hadis Rasulullah SAW di atas, hendaknya orang-oranga beriman mempersiapkan anak-anak mereka dengan sebaik mungkin. Hal itu penting agar mereka siap menghadapi masa depan yang penuh tantangan.“Anak-anak kita harus kita bekali dengan iman dan takwa. Kalau hanya dibekali sains dan teknologi, tanpa iman dan takwa, bisa menjerumuskan mereka,” ujar Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun UIKA Bogor. Didin menambahkan, “Anak-anak kita boleh menjadi apa pun sesuai dengan bidang mereka. Mau jadi dokter, guru, pengusaha, politisi atau yang lainnya. Tetapi ada syaratnya mereka harus mempunyai landasan iman dan takwa.”Pentingnya menanamkan landasan iman dan takwa itu tidak hanya di rumah, tapi juga di sekolah. “Tujuan pendidikan adalah mendidik insan-insan yang beriman dan bertakwa. Sekolah harus mendidik para siswanya agar menjadi orang-orang yang memiliki landasan iman dan takwa yang kuat,” kata lalu mengutip pendapat para pendidikan, bahwa dalam pendidikan itu ada dua hal yang penting. Pertama, unsur-unsur yang tetap atau tidak boleh berubah, yakni keimanan, ketauhidan dan ketakwaan kepada Allah. “Ini tidak boleh berubah karena perkembangan zaman, sepanjang masa, kapan pun dan di mana pun,” yang boleh berubah sesuai perkembangan zaman. Contohnya metode mengajar. “Metode itu penting. Bahkan, metode itu lebih penting daripada sekadar materi materi pelajaran,” ujar Didin. Namun, ada yang lebih penting daripada metode, yakni guru. “Semangat guru dalam mendidik dan mengajar anak-anak muridnya dengan sebaik mungkin sangat diperlukan. Guru yang punya inisiatif dan variasi dalam mengajar, sehingga pelajaran terasa ada ruhnya dan murid-murid belajar dengan penuh perhatian,” papar Kiai Didin Hafidhuddin. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
Subjekyang sedikitnya dalam tiga dasawarsa menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum Muslim maupun Barat. Tiga puluh dua tahun lalu, ketika abad ke-15 Hijriah bermula, terdapat kalangan Muslim di berbagai wilayah dunia Islam yang sangat optimistis dengan masa depan Islam. Mereka berpendapat abad 15 Hijriah adalah era 'kebangkitan Islam'.
MASADEPAN DUNIA ISLAM - Menurut hadits shahih, masa akhir zaman ini terbagi menjadi lima. Pertama, masa kenabian, saat Rasulullah masih Download Koleksi Ceramah Ustadz Yusuf Mansyur Wisata Hati
Dengankata lain, terlalu memikirkan masa depan sama artinya dengan mengisi hari-hari dengan pikiran, perhatian, antisipasi, dan kecemasan yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Dalam sebuah artikel yang diunggah di About Islam, manusia kerap terburu-buru menuju masa depan demi sesuatu yang disebut sebagai kebaikan.Saat masih anak-anak, tidak sedikit yang ingin cepat besar sehingga bisa
Materi"Islam dan Masa Depan Peradaban Dunia" disampaikan Dr. Mohammad Nasih dalam pelantikan KAHMI Malaysia di Kampus IIUM Malaysia. Al-Qur'an menyatakan dengan sangat tegas bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam untuk umat manusia (al-Ma'idah: 3). Konsekuensi deklarasi tersebut adalah Islam akan senantiasa relevan sampai akhir zaman.
MasaDepan Dunia Ditentukan oleh Perempuan, Mua'llimaat adalah Rahimnya . YOGYAKARTA (voa-islam.com) - Masa depan dunia ada pada tangan perempuan dan Madrasah Mu'allimaat Muhammadiyah Yogyakarta adalah rahim yang tepat. Begitu kiranya pernyataan Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada saat memberikan amanat pelepasan peserta didik kelas VI Madrasah Mu'allimaat
0AoSe.